Iklan BANNER PEMUTIHAN PAJAK PEMPROV SUMSEL
Iklan Astra Motor

Semur Jengkol : Kuliner Tradisional yang Dicintai dan Dibenci Sekaligus

Semur Jengkol : Kuliner Tradisional yang Dicintai dan Dibenci Sekaligus

Semur jengkol bukan sekadar makanan ini warisan budaya Betawi yang terus bertahan dari dapur rumahan hingga restoran berbintang.-Fhoto: Istimewa-

PALPOS.ID - Di balik aromanya yang tajam dan kontroversial, semur jengkol tetap menjadi salah satu ikon kuliner khas Betawi yang bertahan lintas generasi.

Makanan ini bukan sekadar hidangan rumahan biasa, tetapi juga simbol budaya yang sarat makna dan nostalgia.

Dikenal luas di wilayah Jabodetabek dan sebagian besar wilayah Jawa Barat, semur jengkol telah menjadi menu wajib dalam berbagai acara keluarga, hajatan, hingga perayaan hari besar keagamaan.

Meski tidak semua orang bisa menerima aromanya, namun mereka yang menyukai semur jengkol akan sulit berpaling dari kelezatannya.

BACA JUGA:Sate Blora, Kuliner Legendaris dari Jawa Tengah yang Makin Mendunia

BACA JUGA:Kerak Telur : Warisan Kuliner Betawi yang Bertahan di Tengah Gempuran Modernisasi

Semur berasal dari bahasa Belanda "smoor", yang berarti teknik memasak dengan cara merebus perlahan menggunakan bumbu yang kaya rasa.

Warisan kolonial ini kemudian mengalami proses akulturasi ketika masyarakat pribumi mulai mengadaptasi teknik ini dengan bahan-bahan lokal, salah satunya adalah jengkol.

Jengkol atau Archidendron pauciflorum adalah tanaman asli Asia Tenggara.

Bijinya dikenal beraroma menyengat, bahkan bisa meninggalkan bau yang bertahan lama di mulut dan urine.

BACA JUGA:Sup Kambing, Kuliner Legendaris yang Tetap Digemari Sepanjang Masa

BACA JUGA:Tempe: Menu Sehat dan Ekonomis, Bisa Diolah Jadi Berbagai Hidangan yang Disukai Semua Kalangan

Namun, di tangan masyarakat Betawi, jengkol diolah sedemikian rupa menjadi semur yang lembut, gurih, dan manis-pedas dengan kuah kental berwarna cokelat gelap khas kecap manis dan rempah.

“Semur jengkol itu bukan hanya makanan, tapi bagian dari identitas,” ujar Mpo Yayah (62), warga asli Condet, Jakarta Timur, yang telah puluhan tahun menjual semur jengkol di warung makannya.

“Dari kecil saya makan ini. Kalau ada hajatan, pasti ada semur jengkol. Rasanya bikin kangen, apalagi kalau dimasak pakai resep warisan nenek.”

Membuat semur jengkol tidak bisa asal-asalan. Proses awal pengolahan bertujuan untuk mengurangi bau menyengat dari jengkol.

BACA JUGA:Soto Medan : Warisan Kuliner yang Menggugah Selera dari Sumatera Utara

BACA JUGA:Sop Iga Sapi, Sajian Hangat yang Menyatukan Rasa dan Tradisi

Biasanya, jengkol direbus berkali-kali, direndam semalaman, lalu dipipihkan menggunakan ulekan agar lebih empuk dan bumbu mudah meresap.

Setelah itu, jengkol dimasak dengan bumbu halus yang terdiri dari bawang merah, bawang putih, kemiri, ketumbar, pala, cengkeh, daun salam, dan tentu saja kecap manis sebagai bahan utama kuah semur.

Proses memasak bisa memakan waktu hingga dua jam untuk menghasilkan tekstur yang empuk dan rasa yang meresap hingga ke inti jengkol.

“Rahasia semur jengkol enak itu sabar dan bumbu yang pas. Jangan buru-buru,” kata Chef Andhika Wira, seorang juru masak yang kerap mengangkat kuliner lokal dalam karya-karyanya.

“Saya pernah bawa semur jengkol ke teman bule, awalnya mereka tutup hidung, tapi setelah dicoba, mereka ketagihan.”

Meski aromanya membuat semur jengkol kerap menjadi bahan lelucon atau bahkan dianggap ‘makanan kelas bawah’, popularitasnya justru makin meningkat.

Banyak restoran, kafe, hingga hotel berbintang mulai memasukkan semur jengkol ke dalam menu mereka, sering kali dengan sentuhan modern.

Di media sosial, semur jengkol pun menjadi topik hangat. Di TikTok, konten mukbang semur jengkol bisa mendapatkan jutaan penonton.

Para food vlogger berlomba-lomba mencari warung semur jengkol terenak di Jakarta dan sekitarnya.

“Saya dulu malu bilang suka jengkol, takut dicap kampungan,” kata Dita, seorang karyawan swasta di Jakarta Selatan.

“Sekarang sih bangga. Teman-teman bule saya malah penasaran dan minta dibikinin.”

Tak hanya di Jakarta, semur jengkol juga mulai merambah ke kota-kota besar lainnya seperti Bandung, Yogyakarta, Surabaya, bahkan hingga luar negeri.

Komunitas diaspora Indonesia kerap memasukkan semur jengkol dalam acara potluck atau perayaan budaya.

Meski lezat dan menggugah selera, jengkol bukan tanpa kontroversi. Kandungan asam jengkolat dalam bijinya dapat menyebabkan gangguan ginjal bila dikonsumsi berlebihan.

Namun, dengan teknik pengolahan yang tepat, kandungan ini bisa ditekan hingga aman dikonsumsi.

“Jengkol itu punya banyak manfaat juga, seperti tinggi protein dan serat,” ujar dr. Nina Prasetyo, ahli gizi dari Universitas Indonesia.

“Yang penting jangan berlebihan. Maksimal 2-3 biji per hari sudah cukup, dan pastikan minum air putih yang banyak.”

Sebagai bagian dari kekayaan kuliner Nusantara, semur jengkol memiliki nilai budaya yang besar.

Sayangnya, di tengah gempuran makanan cepat saji dan gaya hidup modern, makanan tradisional seperti ini kian terpinggirkan.

Beberapa komunitas pecinta kuliner lokal mulai mengadakan festival jengkol tahunan untuk memperkenalkan kembali makanan ini ke generasi muda.

Di Jakarta, Festival Jengkol Nusantara yang digelar setiap tahun di Setu Babakan menjadi bukti bahwa semur jengkol bukan hanya bertahan, tetapi juga berkembang.

“Kalau bukan kita yang melestarikan, siapa lagi?” tutup Mpo Yayah sambil menyendokkan semur jengkol ke piring pelanggannya.

Semur jengkol adalah kuliner yang menggugah rasa, membangkitkan kenangan, sekaligus memicu perdebatan. Baunya mungkin tajam, tapi bagi banyak orang, rasanya adalah rumah.

Dalam tiap suapan semur jengkol, tersembunyi sejarah, cinta, dan warisan budaya yang tak lekang oleh waktu.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber: