Lebaran Digital, Wajah Baru Berhari Raya

Rabu 26-04-2023,00:31 WIB
Editor : itdisway

Sementara data riset dari GSMA Intelligence menunjukkan terdapat 353,8 juta koneksi seluler (128,0%) di Indonesia pada awal tahun 2023.

Seiring waktu, jumlah pengguna ponsel pintar di Indonesia diprediksi terus akan meningkat setiap tahun. Laporan riset Statista bahkan memproyeksi jumlah pengguna smartphone di Indonesia bakal mencapai 268,82 juta pengguna pada tahun 2028.

Plus-minus

Fenomena merebaknya Lebaran ala digital ini tentunya tidak lepas dari ekses plus dan minus-nya.

Secara positif, penggunaan beragam teknologi komunikasi digital yang pasti secara faktual banyak mempermudah masyarakat dalam berbagai aktivitas termasuk saat momen Lebaran.

Orang bisa langsung mengucapkan, “Taqabbalallahu minna wa minkum taqabbal yaa kariim, wa ja’alanallahu wa iyyakum minal ‘aidin wal faizin wal maqbulin kullu ‘aamin wa antum bi khair”, melalui share di WhatsApp (WA), video call atau platform media sosial.

Tanpa harus bertemu muka secara langsung terutama karena faktor jarak atau sebab kondisi lain, teknologi komunikasi digital dapat membantu kita untuk bisa saling bermaaf-maafan secara langsung via daring.

Demikian halnya dengan urusan tiket mudik, transaksi dana berlebaran, belanja berhari raya dan berbagai pernak-pernik aktivitas di momen Lebaran lain telah banyak dimudahkan, diefisiensikan dan diakselerasikan mekanisme prosesnya melalui penggunaan teknologi komunikasi digital, bahkan cukup melalui smartphone.

Kehadiran teknologi komunikasi digital memang telah melampaui sekaligus mengatasi ruang dan waktu guna mempermudah manusia dalam beragam aktivitasnya. Menggunakan istilah Nicholas Negroponte (1996), seorang neo-futuris dari Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat, bahwa “menjadi digital” adalah sesuatu yang utama dari kehidupan (saat ini).

Manusia tidak melepaskan diri dari pengaruh teknologi. Teknologi adalah fenomena yang membuat manusia harus mengikutinya dan antisipasi sudah selayaknya dilakukan.

“Manusia harus terus-menerus memperbaiki dan berpikir ulang mengenai tujuan sosialnya,” demikian saran dari futurolog Alvin Toffler (1970) sebagaimana dicatat oleh Anthony G. Wilhelm dalam Democracy in the Digital Age: Challenges to Political Life in Cyber Space (2000).

Meski memiliki banyak kemanfaatan, namun Lebaran versi digital ini juga dipandang mengandung sisi-sisi kekurangan dan bisa bersifat tidak terlihat alias laten.

Sebagai salah satu contoh, fenomena saling bermaaf-maafan saat Lebaran yang jika hanya mengandalkan fasilitasi via online sampai batas tertentu bisa mengurangi nuansa “kedekatan dan keakraban”.

Bagi banyak pihak, bertemu fisik langsung secara kejiwaan sampai batas tertentu bisa memunculkan rasa keintiman relasi yang lebih optimal sekaligus memberikan kesan lebih mendalam daripada sekadar bertemu via digital.

Ada rasa yang “berbeda” secara psikologis saat bersilaturahmi dengan bertemu secara langsung dengan yang hanya via online, tanpa mengurangi esensi dari Lebaran itu sendiri.

Hannah Arent (1963), seorang filsuf Jerman, menyebutnya sebagai “pelemahan hubungan” karena manusia berkomunikasi tidak lagi bertemu secara langsung, namun telah dilokalisasi oleh teknologi.

Kategori :