Selain itu berkaitan dengan konteks sejarah modern, perjuangan pembebasan Irian Barat tidak lepas dari pengaruh konflik Perang Dingin antara ideologi Barat (kapitalis) dengan ideologi Timur (komunis).
BACA JUGA:Inilah 5 Calon Kabupaten dan Kota Daerah Otonomi Baru Pemekaran Wilayah Provinsi Gorontalo
Blok Barat yang dimotori Amerika Serikat tak ingin paham komunis masuk ke Papua Barat.
Terlebih Indonesia mengerahkan kekuatan militer dalam operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) pembebasan Irian Barat.
Dalam Operasi Trikora pembebasan Irian Barat tersebut, Indonesia mengandalkan persenjataan perang dari Blok Timur yang dimotori Uni Soviet.
Dari sinilah Blok Barat merasa bahaya masuk dan bertumbuhnya paham komunis di Asia Tenggara.
Dengan tekanan Amerika Serikat, Belanda akhirnya menyerahkan Irian Barat (Papua) kepada Indonesia.
Indonesia dan Belanda sepakat menandatangani Perjanjian New York.
Dalam pasal 14 perjanjian tersebut Belanda akan menyerahkan kekuasaan pemerintahan atas Papua melalui perantara Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Beberapa poin Perjanjian New York antara lain Belanda harus menyerahkan Papua pada badan PBB, United Nation Temporary Executive Authority (UNTEA) paling lambat 1 Oktober 1962.
Perjanjian New York ini pula yang jadi landasan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 digelar.
Dalam Perjanjian New York, referendum harus digelar dengan mekanisme satu orang satu suara atau one man one vote.
Dengan kata lain, setiap penduduk Papua memiliki suara untuk menentukan pilihannya.
Namun mekanisme Pepera ini dipermasalahkan. Tokoh Papua, Socratez Sofyan Yoman mengatakan Pepera tidak sesuai dengan kehendak Perjanjian New York.
Alasan dia karena mekanisme one man one vote tidak diterapkan.
Pepera dilaksanakan di Tanah Papua Barat sesuai dengan sistem Indonesia, yaitu musyawarah.