Tak sedikit pula yang mempersingkat waktu memasak, yang berdampak pada tekstur dan kedalaman rasa.
BACA JUGA:Lapis Philippine : Kekayaan Rasa Kue Tradisional yang Mendunia
BACA JUGA:Lapis Legit Gulung : Perpaduan Rasa Tradisional dengan Sentuhan Modern
“Kalau dibilang inovasi, itu sah-sah saja. Tapi kita juga harus melindungi rendang asli.
Ada perbedaan antara rendang basah dan kering, antara rendang asli Minang dan rendang yang disesuaikan.
Semua itu penting dicatat agar warisan ini tidak hilang maknanya,” ungkap Prof. Mardiah Sutan, pakar budaya Minangkabau dari Universitas Andalas.
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat sendiri telah beberapa kali mengusulkan agar rendang diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO.
Langkah ini dinilai penting untuk melindungi rendang dari klaim budaya negara lain dan sekaligus memperkuat identitas Indonesia di mata dunia.
Di tengah upaya pelestarian, para pelaku usaha kuliner juga melihat rendang sebagai peluang ekonomi.
Banyak UMKM memproduksi rendang kemasan yang tahan lama dan bisa diekspor. Beberapa di antaranya bahkan telah menembus pasar Eropa dan Timur Tengah.
“Permintaan dari luar negeri cukup tinggi, terutama dari warga diaspora Indonesia dan pecinta makanan eksotis.
Kami pastikan proses pengolahan tetap higienis, tanpa pengawet, dan sesuai standar internasional,” kata Laila, pemilik Rendang Elok, sebuah usaha rendang kemasan asal Payakumbuh.
Teknologi juga mulai dimanfaatkan untuk mempromosikan rendang.
Melalui media sosial, video resep, dan platform digital lainnya, generasi muda mulai diajak untuk mengenal dan mencintai rendang.
Komunitas-komunitas kuliner bahkan rutin mengadakan lomba memasak rendang dan workshop pembuatan rendang tradisional.
Dengan segala potensi budaya, ekonomi, dan kuliner yang dimilikinya, rendang daging sapi bukan hanya sekadar makanan lezat—ia adalah simbol identitas, jembatan antar generasi, dan warisan yang terus hidup dalam setiap suapan.