Ia menekankan bahwa setiap kebijakan terkait haji tidak bisa diambil secara sepihak, melainkan harus dikaji bersama oleh berbagai pihak, termasuk Kementerian Agama, MUI, ormas Islam, dan tentu saja DPR sebagai pemegang otoritas kebijakan publik.
“Mau 20 hari, 30 hari, dan seterusnya, itu nanti harus dikaji bersama. Jangan sampai malah menimbulkan ketidaknyamanan bagi jemaah,” tambah Haedar.
BACA JUGA:Crispy Bhajiya : Camilan Khas yang Menyentuh Hati dan Lidah
Faktor Sosial dan Keberagaman Madzhab Perlu Dipertimbangkan
Lebih lanjut, Haedar menyoroti aspek sosial masyarakat Indonesia yang masih kental dengan budaya paguyuban.
Hal ini, menurutnya, turut mempengaruhi dinamika pelaksanaan haji di lapangan.
Tidak sedikit jemaah yang masih menganut paham tertentu seperti menjalankan salat arbain (40 waktu salat berjamaah di Masjid Nabawi), sehingga pemangkasan waktu tinggal bisa berpotensi menimbulkan resistensi.
“Yang ketiga, kan juga ada yang bermadzhab untuk arbain segala macam. Jadi harus dikaji. Kalau memang bagus, ya nanti ditetapkan bersama,” ucapnya.
BACA JUGA:Pav Bhaji : Makanan Ikonik India yang Mendunia
BACA JUGA:Wakil Bupati Ogan Ilir H. Ardani Lepas 267 Jamaah Calon Haji di Masjid Agung An-Nur
Ia juga menyinggung pengalaman masa lalu terkait implementasi sistem syarikah (usaha bersama) yang awalnya memiliki niat baik, namun di lapangan kerap menghadapi perubahan persepsi dari masyarakat.
“Coba sistem syarikah misalkan. Niatnya bagus. Sistemnya bagus. Tapi persepsi masyarakat bisa berubah,” jelas Haedar.
Jalan Tengah Melalui Musyawarah
Wacana pemangkasan masa tinggal jemaah haji menjadi 20 hari membuka ruang diskusi yang luas di tengah masyarakat.
Satu sisi, efisiensi biaya menjadi dorongan utama, namun di sisi lain, aspek kenyamanan, pemahaman madzhab, dan kearifan lokal tidak bisa dikesampingkan.