Bola ketan tersebut kemudian direbus hingga mengapung, tanda bahwa adonan sudah matang.
BACA JUGA:Bugis Ketan : Cita Rasa Tradisional yang Tetap Lestari di Tengah Arus Modernisasi
BACA JUGA:Lopis, Warisan Kuliner yang Melekat dalam Tradisi dan Kenangan
Langkah terakhir yang tak kalah penting adalah membuat kuah santan, yang terdiri dari santan kental, daun pandan, dan sedikit garam untuk memberikan cita rasa gurih.
Setelah semua siap, bola ketan disajikan di dalam mangkuk kecil lalu disiram kuah santan hangat.
“Simpel memang bahan-bahannya, tapi butuh ketelatenan.
Apalagi bagian unti kelapa, harus pas teksturnya, tidak boleh terlalu kering atau terlalu basah,” ungkap Murniati sambil menunjukkan proses pembuatannya.
Menariknya, belakangan ini kue putri mandi mulai banyak dijual kembali di kafe-kafe modern dengan tampilan yang lebih menarik.
Warnanya yang cerah—seperti hijau pandan, ungu ubi, dan pink stroberi—menjadi daya tarik tersendiri bagi kaum muda.
Tidak sedikit pula yang menjadikannya sebagai menu camilan sehat karena dibuat tanpa bahan pengawet dan pewarna buatan.
“Awalnya saya pikir ini semacam mochi. Ternyata beda. Isinya kelapa manis dan kuahnya itu gurih banget.
Cocok banget dimakan sore hari,” ujar Rani (24), seorang mahasiswa di Jakarta yang baru pertama kali mencicipi kue putri mandi di sebuah festival kuliner Nusantara.
Beberapa kreator makanan di media sosial seperti TikTok dan Instagram juga turut mempopulerkan kembali kue ini.
Dengan tutorial singkat dan tampilan estetik, mereka memperkenalkan kue putri mandi sebagai jajanan tradisional yang layak dicoba dan dibanggakan.
Dalam upaya melestarikan kuliner Nusantara, sejumlah komunitas kuliner dan pemerintah daerah juga mulai aktif mengenalkan kembali makanan-makanan tradisional seperti kue putri mandi melalui festival, pelatihan, hingga bazar UMKM.
“Ini bagian dari warisan budaya tak benda yang harus dijaga.