Kini, motor Timori menjadi semacam legenda yang terlupakan—bukti bahwa ambisi besar tak selalu sejalan dengan realitas ekonomi dan politik.
Namun, kehadirannya tetap layak untuk dikenang sebagai bagian dari sejarah industri otomotif nasional.
Apakah Motor Timori Roadster 200 Layak Dihidupkan Kembali?
Dengan berkembangnya teknologi dan semangat elektrifikasi, pertanyaan yang muncul adalah: apakah ide motor nasional seperti Timori layak dihidupkan kembali?
Di era di mana motor listrik lokal seperti Gesits, Alva, dan Polytron mulai menapaki pasar domestik, sesungguhnya konsep motor nasional tidak lagi utopis.
Justru, dengan dukungan teknologi dan kebijakan yang berpihak, motor nasional bisa kembali mendapat tempat.
Namun tentu saja, pendekatannya harus jauh lebih transparan, berbasis riset pasar yang kuat, dan tidak lagi berpola kroni politik seperti masa lalu.
Nilai Historis dan Kolektibilitas
Motor Timori Roadster 200—jika masih ada unit prototipenya—mungkin saat ini sudah menjadi barang langka dengan nilai sejarah tinggi.
Di komunitas otomotif dan kolektor kendaraan klasik, motor ini bisa menjadi semacam artefak nasionalis: simbol dari era pembangunan yang penuh ambisi dan drama.
Bahkan, jika satu unit bisa ditemukan dalam kondisi utuh, bukan tidak mungkin nilainya bisa melambung karena kelangkaan dan cerita di baliknya.
Jejak Ambisi yang Harus Dihargai
Motor Timori Roadster 200 memang tidak sepopuler motor-motor Jepang seperti Honda Tiger, Yamaha RX-King, atau Suzuki Thunder di era 90-an.
Namun, di balik nama yang jarang terdengar itu, ada sebuah upaya serius dari bangsa ini untuk bangkit dan mandiri dalam bidang otomotif roda dua.
Kita mungkin bisa menyebut Timori sebagai proyek gagal, namun kita juga bisa memandangnya sebagai langkah awal yang membuka jalan bagi proyek-proyek kendaraan lokal masa kini.
Dari kegagalan itu, lahirlah pelajaran penting: nasionalisme industri harus dibangun bukan hanya dari niat dan kekuasaan, tetapi juga dari keberlanjutan, inovasi, dan kepercayaan pasar.