Mengulik Sejarah dan Perkembangan Islam di Semende

Mengulik Sejarah dan Perkembangan Islam di Semende

Drs M Dzulfikriddin MAg ---ist

Oleh: Drs M Dzulfikriddin MAg

Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Raden Fatah Palembang

 

MASUKNYA agama Islam ke provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) khususnya Palembang diperkirakan terjadi sekitar abad ke-2 Hijriah atau abad ke-7 Masehi dengan jalan damai melalui pelayaran dan perdagangan.

Kala itu Islam berkembang pesat hingga memasuki wilayah pedalaman. Wilayah Semende salah satunya. Kecamatan Semende yang saat ini masuk dalam wilayah administratif Muara Enim beribukota di desa Pulau Panggung.

Kecamatan Semende didiami oleh suku Melayu yang seluruhnya beragama Islam. Suku yang memakai bahasa Semende ini dikenal sangat kuat dalam memegang dan menjalankan ajaran Islam.

Di setiap desa terdapat masjid yang megah dan surau-surau yang senantiasa ramai dipakai untuk kegiatan keagamaan.

 

Pengertian Semende

Menurut Thohlon Abd Rauf (1989: 146), secara bahasa, kata Semende mempunyai tiga pengertian, yakni Semende berarti akad nikah atau kawin, yang dalam istilah Semende disebut dengan tunak atau ngambik bagian.

Kata Semende merupakan rangkaian dari kata same dan nde. Nde artinya milik, kepunyaan, atau hak. Jadi same + nde artinya sama mempunyai, sama memiliki dan kepunyaan bersama.

Kata Semende merupakan pengalihan dari rangkaian kata Se + mah + nde. Se artinya satu atau kesatuan, mah artinya rumah, dan nde artinya milik, kepunyaan atau hak. Jadi se + mah + nde maknanya rumah kesatuan milik bersarna .

Adapun secara istilah, kata Semende juga mempunyai tiga pengertian, yaitu Semende sama dengan akad nikah, dengan artian ikatan tali Allah dan tali Rasulullah, karena itu Semende juga berarti syahäda tain yang menjelaskan bahwa orang-orang Semende telah memiliki kesaksian bahwa Allah Yang Maha Esa sebagai Tuhannya dan Muhammad SAW sebagai Rasulullah yang disaksikan melalui dua kalimat syahadat.

Kata Semende merupakan gabungan dari kata Se + anah + nde, yang artinya rumah kesatuan milik bersama. Semende mengajarkan supaya setiap pribadi merasa terikat dengan rumah keluarga, dan rumah keluarga ini mesti terikat dalam satu kesatuan dengan rumah induk yang secara adat Semende dinamakan Rumah Tunggu Tubang.

Kata Semende merupakan gabungan dari kata Same + fide, yang berarti sama memiliki atau persamaan kedudukan. Jelasnya bahwa Semende mengajarkan semua manusia baik laki-laki maupun perempuan mempunyai persamaan derajat di hadapan Allah SWT dan sesama manusia dengan pembagian tugas dalam persamaan kewajiban dan persamaan hak yang disesuaikan dengan fitrah dan kemampuan masing-masing.

 

Sejarah Semende

Menurut Ketua Lembaga Adat Marga Semende Laut H Kohafah, Semende mulai dibuka pada tahun 1650 M atau 1072 H oleh puyang yang bernama Syekh Nurqadim al-Faharuddin. Dia lebih dikenal dengan sebutan Puyang Awak.

Puyang Awak merupakan keturunan Sunan Gunung Jati melalui silsilah Puteri Sulung Panembahan Ratu Cirebon yang menikah dengan Ratu Agung Mpu Hyang Dade Abang. Beliau mewarisi ilmu kewalian dan kemujahidan Sunan Gunung Jati.

Nurqadim dan ketiga adiknya dibesarkan oleh ayah bundanya di Istana Pelang Kedidai, yang terletak di Tanjung Lematang. Pada waktu kecil beliau dididik akhlaq al-karimah dan aqidah Islamiyah. Pada masa remajanya, beliau mendapat gemblengan para ulama dari Aceh Darussalam yang sengaja didatangkan ayahnya.

Ketika tiba masanya untuk menikah, ia menyunting seorang gadis dari Muara Siban, sebuah desa di kaki gunung Dempo. Setelah mufakat dengan mantap, beliau sekeluarga beserta keluarga adik-adiknya dan keluarga para sahabatnya membuka tanah di Talang Tumutan Tujuh sebagai wilayah yang direncanakan beliau untuk menjadi pusat daerah Semende.

Lama-kelamaan tersebarlah bahwa di daerah Batang Hari Sembilan telah ada seorang wali Allah yang bernama Syekh Nurqadim al-Baharuddin, banyaklah para penghulu atau pemuka agama dari berbagai daerah berdatangan memenuhi ajakan Nurqadim untuk bermukim di Talang Tumutan Tujuh.

Setelah banyak orang berdiam di sana, diresmikanlah talang itu oleh Ratu Agung Dade Abang menjadi dusun yang dinamakan PARA DIPE yang artinya "Para Penghulu Agama". Peresmian itu terjadi pada tahun 1650 M atau 1072 H.

Pada akhirnya, nama Para Dipe ini lebih mudah disebut orang dengan PARDIPE. Di Pardipe inilah Syekh Nurqadim al-Baharuddin Puyang Awak bersama para keluarga dan sahabatnya memulai penerapan ajaran Islam, sekaligus penerapan ajaran adat yang mereka namakan SEMENDE.

Setelah dirasa memadai, mulailah Nurqadim merintis perluasan wilayah Semende secara berangsur-angsur, yaitu pembukaan dusun dan wi1ayah pertanian Pagar Ruyung, yanq dipimpin oleh Puyang Ahmad pendekar Raja Adat Pagar Ruyung dari tanah Minangkabau.

Lalu pembaharuan dusun dan pemekaran wilayah Perapau, yang dipimpin oleh Puyang Perikse Alam dan Puyang Agung Nyawe.

Selanjutnya pembukaan dusun dengan mempelopori permukiman di Muara Tenang oleh Puyang Syekh Putera Sunan Bonang, di Tanjung Iman oleh Puyang Same Wali, di Padang Ratu oleh Puyang Nakanadin, di Tanjung Raya oleh Puyang Regan Bumi dan Tuan Guru Sakti Gumay, serta di Tanjung Laut oleh Puyang Tuan Kecik.

Semua wilayah ini berkembang dari pusatnya di Pardipe yang menjadi basis utama dalam penyebaran ajaran Islam. Semua wilayah ini sekarang termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Muara Enim.

Dilanjutkan dengan pembukaan wilayah Semende Marga Muara Saung dan Marga Pulau Peringin, yang saat ini masuk dalarn wilayah administratif Kabupaten Organ Komering Ulu (OKU).

Kemudian pembukaan wilayah Marga Semende Ulu Nasal dan Marga Semende Pajarbulan Seginim di Bengkulu. Pembukaan dusun-dusun dan wilayah pertanian di Lampung, yakni Marga Semende Wai Tenung, Marga Semende Wai Seputih, Marga Semende Kasui, Marga Semende Pughung, dan Marga Semende Ulak Rengas.

Dengan demikian, wilayah Semende yang pada mulanya berpusat di Pardipe, kini telah meluas jauh sesuai dengan pergerakan manusia dan perkembangan masa.

 

Pendiri Semende

Berdasarkan wawancara dengan para sesepuh di Semende dan penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa pendiri Semende adalah Syekh Nurqadim al-Baharuddin Puyang Awak sebagai pendiri utama.

Diikuti Mas Penghulu, ulama panglima perang dari Gheci, Mataram, Jawa, Ahmad Pendekar Raja Adat Pagar Ruyung, yang berasal dari tanah Minangkabau, Puyang Sang Ñgerti penghulu agama dari Talang Rindu Hati, Bangkahulu.

Lalu Puyang Perikse Alam, pendekar pedagang keliling dari Lubuk Dendam, Mulak, Besemah, Puyang Agung Nyawe, Puyang Lurus Sambung Hati dari Gunung Payung, Banten Selatan serta para saudara kandung dan sahabat Syekh Nurqadim beserta keluarga mereka.

 

Pendidikan dan Peribadatan

Pendidikan yang ada di daerah Semende dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu pendidikan formal dan pendidikan non formal.

Mengenai sarana pendidikan formal di wilayah Semende tentunya tidak berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Di wilayah ini telah tersedia berbagai sarana pendidikan dari TK hingga SMA.

Khusus dibidang pendidikan agama, wilayah Semende juga sudah memiliki dari tingkatan Raudhatul Athfal (setingkat TK), Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD), Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP) , dan Madrasah Aliyah (setingkat SMA) serta sejumlah Pondok Pesantren.

Selain adanya sarana pendidikan formal terdapat juga sarana pendidikan non formal, bahkan jauh sebelumnya masyarakat Semende telah dapat menulis dan membaca huruf ulu.

H Muhammad Ani, pemuka adat di desa Muara Tenang mengatakan, pada masa nenek moyang dahulu, masyarakat Semende telah terbiasa menulis dan membaca dengan huruf ulu yang biasa disebut dengan huruf Kaghas, tetapi hal itu belum melembaga.

Ani sangat menyayangkan sekarang ini tidak ada lagi orang yang mampu membaca dan menulis dengan huruf Kaghas itu, apalagi di kalangan generasi muda. Bahkan saat ini bentuk tulisan Kaghas tidak lagi diberlakukan bahkan tidak dikenal lagi oleh masyarakat Semende.

Setelah agama Islam tersebar pesat di kalangan masyarakat Semende, pendidikan non formal semakin maju, seperti pengajian yang diasuh oleh Puyang Syekh Nurqadim al-Baharuddin beserta sahabat-sahabatnya.

Dari sinilah terbentuk lembaga-lembaga pendidikan non formal yang bertempat di rumah-rumah atau mushola yang disebut dengan langgar atau kuruk.

 

Sarana Peribadatan

Masyarakat Semende seluruhnya beragama Islam. Terbukti dari hasil sensus penduduk yang telah dilaksanakan beberapa kali. Bukti lain dapat dilihat dari sarana peribadatan yang ada di wilayah ini. Hanya masjid dan mushola saja yang ada di sana.

Hal tersebut tertuang dalam buku yang ditulis sendiri oleh penulis yang berjudul Kepemimpinan Meraje dalam Masyarakat Adat Semende dan Kesesuaiannya dengan Kepemimpinan dalam Islam yang diterbitkan pada 2001.

Masyarakat Semende sangat kuat dalam menjalankan syariat Islam. Di setiap desa terdapat masjid dan mushola yang dipakai sebagai tempat ibadah shalat lima waktu, shalat Jumat, peribadatan dan pengajian kaum ibu serta tempat belajar mengaji bagi anak-anak dan kaum remaja.

Dari seluruh masjid yang ada, sebagian besar telah mengalami perbaikan dan perombakan dari bangunan pertama yang merupakan bangunan asal dari para pendahulu. Ada yang merombak sebahagian dan ada pula yang merombak total bangunan asal, seperti halnya masjid al-Amin di desa Aremantai, sehingga menjadi masjid berlantai dua dan terbesar di Semende.  Begitu juga masjid Jami’ desa Pajarbulan, walaupun hanya satu tingkat namun cukup besar.

Dari keinginan masyarakat untuk memperindah fisik masjid tersebut dan meramaikannya dengan berbagai aktivitas keagamaan yang senantiasa berjalan, dapat dilihat bahwa masyarakat Semende sangat antusias terhadap syiar Islam, sebagaimana Nabi Muhammad SAW sendiri dalam perjuangannya pada tahap pertama adalah mendirikan masjid sebagai sentral kegiatan umat Islam.(*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: