HRA, MERP, Environmental Monitoring, Biological Monitoring, Health Exams, Fitness determination adalah masalah sehari-hari yang harus digeluti seorang OH-Physician di manapun. Selain gold mining yang ada dibawah Shell, ia juga ikut mempelajari kegiatan mining domestic yang ada di PT Bukit Asam (BA), Adaro, dan Antam (Gold dan Alumina).
Tahun 2000 awal, setelah usai bertugas di SCI ia pun mulai berkenalan dengan sektor manufaktur, waktu menjadi OH physician di perusahaan Consumer Products P & G, dan menjadi OH adviser untuk Nike Group yang memiliki kontrak pembuatan sepatu dan apparel dengan sekitar 10 perusahaan dan memiliki pekerja lebih dari 100.000 orang.
Selain itu ia juga berkesempatan menjadi OH adviser untuk PT Citra Husada Indonesia yang merupakan Health Provider untuk Panasonic Group of Companies yang banyak memroduksi peralatan elektronik.
Prof Tan Malaka (tengah) bersama petugas lapangan PT Freeport Indonesia saat meninjau Fasilitas Sanitary Landfill dan Workshop di PT Freeport Indonesia pada 2009.---ist
Kiprah di Bidang K3
Setelah puluhan tahun berkecimpung dalam bidang K3 di Indonesia, Prof Tan yang menjadi Guru Besar bidang Kesmas (Kesehatan Masyarakat) Unsri pada 2008 ini banyak terlibat pada berbagai topik tentang Kesehatan Kerja.
Pertama, memperkenalkan program Biological (Bio) Monitoring di Indonesia. Tigapuluh tahun lalu Bio Monitoring tidak terdengar di Indonesia padahal telah lama dimulai di US dan Eropa. Hampir setiap agenda nasional atau training events, kakek 7 cucu ini membawakan update tentang topik ini untuk para praktisi terutama Oil & Gas dan big mining corporations. Ada satu buku yang diterbitkan EGC yang ia tulis tentang Bio-monitoring.
Kedua, Program Konservasi Pendengaran (PKP). PKP adalah salah satu subyek favorit yang sering ia perkenalkan sejak awal tahun 1990, setiapkali IDKI membuat acara training atau workshops. Hal ini karena noise seringkali merupakan health hazards yang ditemui pada banyak perusahaan industri dan tambang.
Beberapa perusahaan dimana Prof Tan ikut mengembangkan PKP secara berhasil adalah PT Total Indonesia dan Panasonic Manufacturing Indonesia (PMI).
Ketiga, Industrial Hygiene (US) atau Occupational Hygiene (EU) yang telah lama berkembang di negara maju dan merupakan disiplin penunjang OH yang amat penting. Namun sampai akhir tahun 1990 masih jarang terdengar di Indonesia. Minimnya support Industrial Hygiene ini membuat kemajuan K3 di Indonesia serasa pincang, karena displin ilmu ini berfokus pada penilaian exposure secara lebih kuantitatif.
Pada 2003, Prof Tan mengajak beberapa teman untuk mengkaji secara serius cara memacu pertumbuhan IH di Indonesia. Mereka adalah pengurus AHKKI waktu itu dimana Prof Tan adalah ketua umumnya. Saat itu mereka berpikir rekan-rekan di lapangan harus dibantu untuk mengenal dan mengendalikan risiko kesehatan pada aspek Bio-Kimiawi-Fisik yang ada di tempat kerja.
Keempat, Occupational Exposure Limits (OELs) atau yang sekarang disebut oleh ACGIH (2021) sebagai Occupational Exposure Values (OEVs), adalah standar atau nilai rujukan untuk membandingkan hasil pengukuran lingkungan kerja untuk faktor kimiawi fisik dan ergonomik.
Untuk ini setiap negara mengembangkan OEVs sesuai dengn kebutuhan dan tingkat perkembangan Iptek mereka. Namun di dunia internasional ada tiga sumber yang sering dijadikan rujukan dan orientasi pengembangan OEVs ini yaitu ACGIH TLVs, British WELs dan MAK Germany.
Pemerintah sendiri melalui Menakertrans membuat NAB (Nilai Ambang Batas) untuk Indonesia. Dua kali Prof Tan ditunjuk oleh pemerintah RI mengetuai proses penyusunan NAB, pertama oleh Depnaker tahun 2005 dan oleh Depkes 2008.