"Berbeda sama sekali dengan konsep desain awal yang waktu perda tahun 2002-2003 itu yang punya, yang direkomendasikan DPRD Batam berbeda. Itu saya perlu klarifikasi. Jadi bukan lanjutan itu," katanya.
Salah satu rencana KWTE saat itu adalah lokalisasi hiburan malam di Rempang. Namun, Taba mengatakan saat itu mendapat penolakan dan kemudian dibatalkan.
Akhirnya, kata Taba, PT MEG batal bekerja sama dengan BOB dan Pemkot Batam. Namun, kata Taba, PT MEG saat ini kembali akan menggarap proyek di Rempang, tetapi melalui pemerintah pusat.
"Rekomendasi DPRD Kota Batam tidak berlanjut, karena Kapolri saat itu melarang perjudian. Karena dia beranggapan bahwa KWTE itu akan dibuat judi," kata Taba.
BACA JUGA:Sebut Kerugian Rp 2,8 Miliar, Tuntut Pelaku Pembakaran Rumah Diproses Hukum
"Kalau sekarang yang masuk PT MEG, itu betul PT MEG yang dulu. Jadi dia ingin melanjutkan investasinya, dia ini masuknya lewat mana? Melalui pemerintah pusat," imbuhnya.
Konflik ini bermula dari rencana relokasi warga di Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru dalam mengembangkan investasi di Pulau Rempang menjadi kawasan industri, perdagangan dan wisata yang terintegrasi.
Proyek yang dikerjakan oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) ditargetkan bisa menarik investasi besar yang akan menggunakan lahan seluas seluas 7.572 hektare atau sekitar 45,89 persen dari total luas Pulau Rempang 16.500 hektare.
Warga yang mendiami di Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru tersebut harus direlokasi ke lahan yang sudah disiapkan. Jumlah warga tersebut diperkirakan antara 7.000 sampai 10.000 jiwa.
BACA JUGA:Potensi Mendunia Kota Kotamobagu, Calon Ibukota Provinsi Bomong Raya Pemekaran Sulawesi Utara
Bentrok pun pecah antara aparat dengan warga pada 7 September lalu. Aparat gabungan disebut memasuki wilayah perkampungan warga.
Sementara warga memilih bertahan dan menolak pemasangan patok lahan sebagai langkah untuk merelokasi.
Tak berhenti di sana, kerusuhan kembali terjadi pada 11 September saat ribuan warga menggeruduk kantor BP Batam, Kota Batam untuk menolak rencana relokasi dan meminta tujuh warga yang terlibat aksi dibebaskan.*