Perusahaan dagang Belanda, atau yang lebih dikenal sebagai VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), memandang Kerajaan Gowa sebagai hambatan terhadap dominasinya dalam perdagangan rempah-rempah di wilayah tersebut.
VOC bersekutu dengan Arung Palakka, seorang raja Bone yang hidup dalam pengasingan setelah jatuhnya kekuasaan di bawah Kerajaan Gowa-Tallo.
BACA JUGA:Pemekaran Provinsi Sulawesi Selatan: Wacana dan Usulan Wilayah Baru
BACA JUGA:Dinamika Perikanan Sulawesi Selatan 2019-2021
Belanda mendukung Palakka untuk kembali ke Bone, membangkitkan perlawanan masyarakat Bone dan Sopeng melawan kekuasaan Gowa.
Setelah tahun perang selama setahun, Kerajaan Gowa berhasil dikalahkan, dan Sultan Hasanuddin dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bongaya yang mengurangi kekuasaan Gowa. Dengan demikian, Bone di bawah Palakka menjadi penguasa di Sulawesi Selatan.
Persaingan dan Perlawanan Hingga Era Kolonial
Persaingan antara Kerajaan Bone dengan pemimpin Bugis lainnya memenuhi sejarah Sulawesi Selatan.
Meskipun Ratu Bone memimpin perlawanan melawan Belanda setelah Perang Napoleon di Eropa, Belanda berhasil memadamkan pemberontakan tersebut.
BACA JUGA:Pembentukan 2 Provinsi Baru di Sulawesi Selatan Wacana Pemekaran untuk Pemerataan Pembangunan
Namun, perlawanan masyarakat Makassar dan Bugis terus berlanjut melawan kekuasaan kolonial hingga tahun 1905-1906.
Pada tahun 1905, Belanda juga berhasil menaklukkan Tana Toraja, dengan perlawanan berlanjut hingga awal 1930-an.
Sulawesi Selatan Sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI
Sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Sulawesi Selatan terdiri atas sejumlah wilayah kerajaan yang berdiri sendiri dan dihuni oleh empat etnis utama: Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja.
Tiga kerajaan besar yang berpengaruh luas pada abad ke-16 dan ke-17 adalah Luwu, Gowa, dan Bone, yang menjalin hubungan dagang serta persahabatan dengan bangsa Eropa, India, China, Melayu, dan Arab.