PALPOS.ID - Airlangga Hartarto Mundur dari Ketum Golkar: Pertanda Kekuatan Besar Bermain di Balik Layar?.
Dalam perkembangan politik Indonesia yang kerap kali tak terduga, keputusan Airlangga Hartarto untuk mundur dari posisi Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar menjadi salah satu peristiwa yang mengguncang dinamika partai berlambang pohon beringin tersebut.
Keputusan ini tidak hanya mengejutkan para kader Golkar, tetapi juga mengundang banyak spekulasi di kalangan pengamat politik dan masyarakat luas.
Airlangga, yang telah memimpin Golkar sejak 2017, dikenal sebagai sosok yang penuh perhitungan dalam setiap langkah politiknya.
BACA JUGA:Airlangga Hartarto Mundur dari Ketum Golkar: Ahmad Doli Kurnia Tegaskan Bukan Terseret Kasus Korupsi
Di bawah kepemimpinannya, Partai Golkar mampu mempertahankan posisinya sebagai salah satu partai terbesar di Indonesia, bahkan berhasil mengantarkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memenangkan Pilpres 2024 dan menjadi partai dengan perolehan suara terbanyak kedua dalam pemilihan legislatif.
Namun, pada 10 Agustus 2024, Airlangga mengumumkan pengunduran dirinya dengan alasan menjaga keutuhan partai dan memastikan stabilitas selama masa transisi pemerintahan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Presiden terpilih Prabowo Subianto.
Dalam pesan video yang disiarkan secara luas, Airlangga menyampaikan bahwa keputusannya diambil setelah mempertimbangkan berbagai faktor dan dengan tujuan menjaga kondusivitas partai dalam menghadapi perubahan besar yang akan datang.
Benarkah Airlangga Dipaksa Mundur?
Pengunduran diri Airlangga ini langsung memicu spekulasi mengenai ada tidaknya tekanan dari pihak eksternal yang memaksa dirinya untuk mundur.
BACA JUGA:Airlangga Hartarto Mundur dari Ketua Umum Golkar: Spekulasi, Tekanan, dan Implikasi Politik
Salah satu pengamat politik terkemuka dari ISEAS-Yusof Ishak Institute, Made Supriatma, mencurigai bahwa langkah Airlangga bukanlah murni keputusannya sendiri.
Made menduga ada kekuatan besar yang bermain di balik layar, yang sengaja ingin menyingkirkan Airlangga dari puncak kepemimpinan Golkar.