Kurikulum ini diharapkan dapat membangun kesadaran dan keterampilan siswa dalam mengidentifikasi, mengolah, dan memanfaatkan pangan lokal sebagai alternatif dari ketergantungan pada pangan impor.
Andre Ekadinata, Direktur Utama ICRAF Indonesia, sebagai mitra dalam pengembangan kurikulum ini, menjelaskan bahwa pendekatan dalam kurikulum pangan lokal ini berbeda dengan kurikulum sebelumnya karena relevansinya yang lebih kontekstual dengan kondisi daerah setempat.
“Penting bagi anak-anak untuk mengetahui bahwa pangan lokal itu beragam, bukan hanya beras dan nasi. Mereka perlu memahami potensi sumber pangan lain yang bisa dimanfaatkan, seperti umbi-umbian, sagu, dan berbagai jenis tanaman lokal lainnya. Dengan demikian, mereka akan lebih siap menghadapi kemungkinan krisis pangan di masa depan,” ungkap Andre.
ICRAF Indonesia, melalui proyek Land4Lives yang didukung oleh pemerintah Kanada, berperan aktif dalam mendukung Pemprov Sumsel dalam penyusunan dan implementasi kurikulum ini.
Proyek ini berfokus pada mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim dengan memperkuat ketahanan pangan berbasis sumber daya lokal di berbagai wilayah.
Menurut Andre, pengembangan kurikulum ini dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi, pakar pangan lokal, serta praktisi pendidikan, guna memastikan bahwa materi yang disampaikan relevan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat Sumatera Selatan.
“Kita tidak hanya ingin memberikan teori, tetapi juga praktik langsung yang dapat diterapkan siswa dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, pendekatan dalam kurikulum ini bersifat aplikatif,” tambahnya.
Tantangan Implementasi dan Peran Guru dalam Kurikulum Pangan Lokal
Meskipun program ini menjanjikan potensi besar dalam memperkuat ketahanan pangan daerah, tantangan yang dihadapi dalam implementasi kurikulum ini cukup signifikan.
Salah satu tantangan utama adalah kapasitas para guru dalam memahami dan menyampaikan konsep pangan lokal dengan cara yang efektif kepada siswa.
“Pendidikan mengenai pangan lokal masih relatif baru di dunia pendidikan formal. Oleh karena itu, kami perlu memastikan bahwa para guru memiliki pemahaman yang sama tentang konsep pangan lokal dan cara mengajarkannya kepada siswa dengan metode yang menarik dan aplikatif,” ujar Andre.
Dalam rangka mengatasi tantangan ini, Dinas Pendidikan Sumatera Selatan bekerja sama dengan ICRAF Indonesia telah mengadakan Bimbingan Teknis (Bimtek) bagi para guru yang akan menjadi pelopor dalam implementasi kurikulum ini.
Bimtek ini mencakup berbagai aspek, mulai dari pemahaman tentang konsep ketahanan pangan berbasis pangan lokal hingga metode pengajaran yang kreatif dan inovatif.
Awalluddin menegaskan bahwa keterlibatan guru dalam implementasi kurikulum ini sangat krusial. “Guru adalah ujung tombak dalam keberhasilan program ini.
Oleh karena itu, kami akan terus memberikan pendampingan dan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas mereka agar mampu menyampaikan materi kurikulum dengan baik,” katanya.
Salah satu guru pelopor yang mengikuti Bimtek, Rina Setiawan, guru di SMA Negeri 3 Palembang, menyatakan antusiasmenya terhadap program ini.