Menurut Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar, pengoplosan ini dilakukan dengan membeli RON 90 (Pertalite) dan mencampurnya dengan Premium (RON 88) serta Pertamax (RON 92) di fasilitas terminal PT Orbit Terminal Merak.
Kejagung juga telah menetapkan pemilik terminal, Muhammad Keery Andrianto Riza dan Gading Ramadan Joede, sebagai tersangka dalam kasus ini.
Skandal ini menyebabkan kerugian negara yang sangat besar, ditaksir mencapai Rp 193,7 triliun.
Modus yang dilakukan para tersangka mencakup manipulasi harga impor bahan baku BBM serta penyalahgunaan wewenang dalam distribusi BBM ke SPBU.
BACA JUGA:Dugaan Korupsi BTS Kominfo, Menteri Kominfo Jhonny G Plate Ditahan Kejaksaan Agung di Rutan Salemba
Kasus ini menuai reaksi keras dari berbagai kalangan, mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga pengamat ekonomi.
Pemerintah memastikan akan memperketat pengawasan terhadap distribusi BBM dan menindak tegas pelaku kejahatan yang merugikan negara.
Sementara itu, masyarakat yang merasa dirugikan mendesak agar seluruh pihak yang terlibat segera diadili dan dihukum seberat-beratnya.
Sejumlah pengamat energi menilai bahwa praktik seperti ini menunjukkan adanya kelemahan dalam pengawasan distribusi BBM di Indonesia.
Mereka menekankan perlunya reformasi besar-besaran dalam sistem pengelolaan BBM agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
Di sisi lain, Pertamina sendiri mengklaim akan terus bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk membongkar jaringan pengoplosan BBM ini.
Perusahaan BUMN ini juga berjanji untuk memperketat mekanisme kontrol internal guna memastikan seluruh proses distribusi BBM berjalan transparan dan sesuai regulasi.
Kenaikan dan penurunan harga BBM menjadi perhatian masyarakat setiap bulannya, terlebih saat ada praktik ilegal yang merugikan negara dan masyarakat luas.
Dengan adanya kasus pengoplosan BBM yang saat ini sedang diusut Kejagung, publik semakin menyadari pentingnya transparansi dalam pengelolaan energi nasional.