Syamsu Rizal juga menekankan bahwa tugas utama kepolisian adalah menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas).
Dalam konteks pengawasan informasi dan media, peran polisi seharusnya berfokus pada konten yang melanggar hukum, seperti penyebaran hoaks, ujaran kebencian, radikalisme, atau pelanggaran etika jurnalistik yang dapat menimbulkan keresahan publik.
“Polisi sebaiknya fokus pada upaya menjaga ruang digital yang sehat, mendukung literasi media, dan menindak tegas penyebaran konten ilegal. Itu tugasnya. Bukan malah mengurus jurnalis asing yang sudah ada mekanisme pengaturannya di lembaga lain,” tegasnya.
Menariknya, dalam momentum kritik terhadap Perpol 3/2025 ini, Daeng Ical menyuarakan pentingnya revisi Undang-Undang Pers dan Undang-Undang Penyiaran secara bersamaan, bahkan dikonsolidasikan dengan UU ITE dalam bentuk omnibus law.
Menurutnya, integrasi ketiga undang-undang tersebut ke dalam satu payung hukum akan memudahkan regulasi, menghindari tumpang tindih, dan memperkuat perlindungan atas kebebasan berpendapat sekaligus keamanan ruang digital.
“Kita di Komisi I tengah mendorong supaya UU Pers, UU ITE, dan UU Penyiaran direvisi dan digabungkan menjadi satu dalam skema omnibus law. Jadi nanti tidak ada lagi tumpang tindih seperti ini. Semuanya akan mengacu ke satu undang-undang,” paparnya.
Selain dari DPR, sejumlah komunitas pers dan lembaga advokasi kebebasan informasi juga angkat bicara. Aliansi Jurnalis Independen (AJI), LBH Pers, hingga International Federation of Journalists (IFJ) menyampaikan keprihatinan yang sama terhadap regulasi baru ini.
Ketua AJI Indonesia menyebut bahwa Perpol ini adalah “ancaman terhadap independensi jurnalisme dan praktik pelaporan yang bebas.”
Mereka menuntut transparansi proses pembuatan regulasi dan meminta keterlibatan komunitas pers dalam penyusunan aturan semacam itu di masa depan.
Di tengah meningkatnya peran Indonesia dalam percaturan global, terutama sebagai tuan rumah forum internasional dan anggota G20, Perpol seperti ini dapat memberikan citra buruk terhadap komitmen Indonesia pada kebebasan pers.
Beberapa duta besar negara-negara sahabat dikabarkan juga tengah mencermati regulasi ini dan meminta klarifikasi dari Kementerian Luar Negeri Indonesia.
Jika tidak segera direvisi, Indonesia dikhawatirkan akan mengalami penurunan skor dalam indeks kebebasan pers global yang dikeluarkan oleh Reporters Without Borders dan organisasi lainnya.
Dengan berbagai kritik dan kekhawatiran dari berbagai pihak, desakan agar Perpol Nomor 3 Tahun 2025 segera direvisi semakin menguat.
Daeng Ical dan sejumlah anggota Komisi I DPR RI berjanji akan segera memanggil Kapolri untuk rapat dengar pendapat guna meminta klarifikasi langsung.
“Kami akan jadwalkan pemanggilan Kapolri dalam waktu dekat. DPR akan menagih pertanggungjawaban, karena ini bukan hal sepele. Ini menyangkut nama baik Indonesia di mata internasional,” tutup Daeng Ical.
Kontroversi Perpol 3/2025 menunjukkan pentingnya koordinasi antarlembaga dan kejelasan regulasi dalam mengelola ruang publik, terutama yang menyangkut warga negara asing dan kebebasan pers.