Beberapa desa wisata bahkan menjadikan pembuatan bubur sagu mutiara sebagai salah satu kegiatan wisata edukatif yang dapat diikuti pengunjung.
Ini memberi kesempatan bagi wisatawan untuk belajar tentang proses pembuatan dan sejarah kuliner tradisional Indonesia, sekaligus menikmati kelezatan makanan tersebut.
Meski hadir dalam berbagai variasi resep di setiap daerah, dasar pembuatan bubur sagu mutiara tetap sama.
Di Bali, misalnya, bubur sagu mutiara sering disajikan dalam upacara keagamaan Hindu sebagai persembahan untuk dewa-dewa.
Di Papua, bubur ini disajikan dalam acara adat sebagai simbol syukur atas hasil panen.
Di berbagai daerah lainnya, bubur ini bisa ditemukan dalam bentuk yang berbeda, dengan tambahan bahan-bahan seperti daun pandan untuk memberikan aroma khas.
Bagi keluarga Indonesia, membuat bubur sagu mutiara adalah tradisi yang diwariskan turun-temurun.
Ibu Sari, seorang ibu rumah tangga di Surabaya, mengatakan bahwa resep bubur sagu mutiara telah diajarkan oleh neneknya sejak kecil.
“Ini adalah tradisi keluarga yang tidak pernah terlupakan. Setiap kali ada acara besar, bubur sagu mutiara selalu ada di meja,” ujarnya.
Meskipun memiliki nilai budaya yang tinggi, bubur sagu mutiara juga menghadapi tantangan di era modern ini.
Seiring dengan semakin populernya makanan cepat saji, banyak generasi muda yang kurang tertarik untuk belajar cara membuat atau menikmati makanan tradisional ini.
Selain itu, kebiasaan mengonsumsi makanan instan yang praktis menjadi pilihan utama bagi sebagian besar masyarakat urban.
Namun, harapan untuk pelestarian bubur sagu mutiara tetap ada.
Komunitas pecinta kuliner tradisional, bersama dengan pemerintah daerah, terus berusaha mengedukasi masyarakat, terutama generasi muda, tentang pentingnya melestarikan warisan kuliner Indonesia.
Salah satu upayanya adalah dengan mengadakan pelatihan memasak kuliner tradisional di sekolah-sekolah dan melalui platform media sosial yang semakin populer.
Bubur sagu mutiara lebih dari sekadar makanan manis yang nikmat.