Pertempuran brutal di Tanah Abang menjadi simbol keruntuhan kerajaan Hercules.
Bangkit Lewat Politik Akar Rumput
Alih-alih tenggelam, Hercules bangkit dari reruntuhan.
Ia membangun kembali jaringan, melalui bisnis penagihan utang, keamanan informal, dan investasi di bidang agrikultur.
Di mata banyak migran Indonesia Timur, ia menjadi “pelindung” yang menyediakan lapangan kerja, tempat tinggal, dan akses ke Jakarta yang keras.
Namun kebangkitan terbesarnya terjadi saat Prabowo mendirikan Partai Gerindra pada 2008.
Tahun 2011, ia meluncurkan Gerakan Rakyat untuk Indonesia Baru (GRIB) — organisasi sosial-politik yang secara terbuka memobilisasi jaringan mantan preman, kelompok main hakim sendiri, dan eks-milisi.
Tujuannya jelas: memenangkan hati rakyat kecil, dan mengamankan suara di tingkat akar rumput.
Dokumen-dokumen internal GRIB menunjukkan bahwa Hercules punya struktur kaderisasi hingga tingkat RT dan RW.
Banyak di antaranya berasal dari bekas jaringan preman yang dahulu hidup di bawah radar hukum.
Dengan kekuatan ini, Hercules berubah menjadi “broker politik” yang mampu mengantar suara dari jalanan ke meja elite.
Preman atau Patriot?
Kini, di usia 56 tahun, Hercules masih menghiasi layar kaca dan media sosial. Ia dianggap pahlawan oleh sebagian, dan simbol kriminalisasi politik oleh yang lain.
Pertanyaannya: apakah Rosario de Marshall adalah produk kekerasan negara, atau agen yang memanfaatkannya?
Investigasi ini menemukan bahwa jejak kekuasaan Hercules tak bisa dilepaskan dari kebijakan militer di masa Orde Baru, serta kebutuhan politik di era demokrasi.
Ia bukan sekadar preman.