Karena harganya terjangkau dan rasanya nikmat, tak heran jika cilor menjadi favorit di kalangan pelajar.
Namun, seperti jajanan kaki lima lainnya, cilor juga menghadapi tantangan, terutama soal kebersihan dan keamanan pangan.
Beberapa waktu lalu, sempat beredar kabar tentang penggunaan bahan pewarna atau pengawet yang tidak aman pada jajanan seperti cilor.
Hal ini mendorong Dinas Kesehatan di beberapa daerah untuk rutin mengedukasi pedagang dan melakukan pengawasan.
Di sisi lain, cilor juga membuka peluang bisnis yang luas, terutama bagi pelaku UMKM.
Beberapa merek cilor kini sudah naik kelas, masuk ke toko oleh-oleh hingga merambah pasar ekspor.
Produk cilor beku atau ready to cook juga mulai dijual secara daring, menjangkau konsumen yang lebih luas.
Cilor bukan hanya soal makanan, tetapi juga simbol dari kreativitas kuliner rakyat.
Dalam bentuknya yang sederhana, cilor merepresentasikan kemampuan masyarakat untuk berinovasi dengan bahan lokal, menciptakan sesuatu yang lezat, mengenyangkan, dan merakyat.
Selama ada selera akan makanan jajanan yang murah dan enak, cilor tampaknya masih akan bertahan lama di hati masyarakat Indonesia.
Dari anak sekolah hingga orang dewasa, dari pinggir jalan hingga layar media sosial, cilor terus membuktikan bahwa makanan tradisional pun bisa tetap eksis di era modern.*