Kue lapis juga bisa tampil estetik dan kekinian,” kata Rena.
Strategi ini terbukti efektif. Dalam sehari, Lapis Licious bisa menjual hingga 500 cup kue lapis secara online.
Meski popularitasnya masih cukup kuat, kue lapis menghadapi tantangan dari segi regenerasi pembuat dan ketersediaan bahan baku berkualitas.
Banyak generasi muda yang enggan menekuni pembuatan kue tradisional karena dianggap melelahkan dan tidak sepraktis bisnis makanan cepat saji.
Untuk itu, berbagai komunitas kuliner dan pemerintah daerah mulai menggelar pelatihan dan lomba kue tradisional untuk menarik minat anak muda.
Di Surabaya, misalnya, Dinas Koperasi dan UMKM bekerja sama dengan komunitas ibu-ibu PKK mengadakan workshop kue lapis tiap bulan.
“Kita tidak ingin kue-kue tradisional hanya tinggal cerita.
Lewat pelatihan ini, kita dorong anak muda untuk melestarikan warisan kuliner kita,” ujar Kepala Dinas UMKM Surabaya, Lilis Rahmawati.
Kue lapis bukan sekadar makanan penutup, tapi bagian dari identitas budaya yang mencerminkan nilai-nilai lokal seperti kesabaran, ketekunan, dan estetika.
Di tengah gempuran kuliner asing, keberadaan kue lapis yang tetap bertahan membuktikan bahwa cita rasa warisan nenek moyang masih punya tempat istimewa di hati masyarakat Indonesia.
Dengan inovasi dan dukungan generasi muda, kue lapis memiliki peluang besar untuk terus dikenal, bahkan mendunia sebagai salah satu kuliner khas Indonesia yang unik dan penuh makna.*