Dalam video tersebut, ditunjukkan proses pembuatan gemblong secara manual, yang memikat banyak netizen.
Keunikan rasa dan tekstur menjadi alasan utama gemblong tetap eksis. Kombinasi rasa gurih dari kelapa dan manis legit dari gula aren sulit ditemukan di camilan modern.
Selain itu, nostalgia juga memainkan peran penting.
“Gemblong itu seperti mesin waktu. Begitu saya gigit, saya langsung ingat masa kecil saya di kampung, ketika ibu saya masih suka membuatnya,” ujar Dedi Saputra (34), warga asal Bogor yang kini tinggal di Jakarta.
Harga yang terjangkau juga menjadi nilai tambah.
Rata-rata harga gemblong hanya Rp2.000–Rp3.000 per biji, menjadikannya camilan merakyat yang bisa dinikmati siapa saja.
Meskipun banyak pesaing dari makanan modern, gemblong masih memiliki peluang besar jika terus dikenalkan kepada generasi muda.
Pemerintah dan pelaku industri kuliner perlu bekerja sama dalam pelestarian makanan tradisional ini.
Beberapa komunitas kuliner seperti Indonesia Food Heritage telah mengadakan workshop membuat gemblong di sekolah-sekolah dan kampus.
Tujuannya adalah memperkenalkan dan melestarikan makanan tradisional sebagai bagian dari warisan budaya bangsa.
“Saya percaya makanan tradisional seperti gemblong bisa bersaing, asal dikemas dengan baik dan dipromosikan secara kreatif,” ujar Rina Marlina, penggiat kuliner dari komunitas tersebut.
Dengan cita rasa yang unik dan nilai sejarah yang tinggi, gemblong bukan hanya sekadar camilan.
Ia adalah warisan budaya yang menyatukan rasa, kenangan, dan identitas kuliner Indonesia.
Jika dirawat dan dikembangkan dengan tepat, gemblong bukan hanya bertahan—tapi bisa mendunia.*