Kurangnya generasi muda yang mau belajar membuat Ang Toh Kuih secara manual menjadi salah satu kendala.
Menurut pakar budaya Tionghoa, Dr. Yunita Lie, pelestarian makanan tradisional harus menjadi bagian dari edukasi budaya sejak dini.
“Kalau tidak diperkenalkan sejak kecil, anak-anak sekarang hanya akan tahu donat dan croissant.
Padahal, makanan tradisional seperti Ang Toh Kuih memiliki nilai budaya yang tak ternilai,” ujarnya.
Beberapa komunitas Tionghoa dan organisasi pecinta kuliner tradisional kini aktif mengadakan pelatihan membuat Ang Toh Kuih di sekolah dan pusat budaya.
Harapannya, generasi muda tidak hanya menikmati, tetapi juga bisa melestarikan warisan kuliner ini.
Ang Toh Kuih bukan sekadar kue manis berwarna merah.
Ia adalah simbol doa, harapan, dan penghormatan terhadap leluhur.
Keberadaannya di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk menunjukkan bagaimana budaya bisa bersatu dalam sebuah gigitan kecil yang sarat makna.
Di balik rasa manis dan bentuknya yang unik, Ang Toh Kuih membawa cerita panjang tentang tradisi, identitas, dan perjuangan untuk tetap hidup dalam arus modernisasi.
Selama masih ada yang mau membuat dan menikmatinya, kue kecil ini akan terus menjadi penjaga kenangan budaya yang tak lekang oleh waktu.*