Sesaji utama berupa puluhan mentimun hijau segar yang telah dilubangi dan diisi dengan kembang tujuh rupa, kemenyan, dan kadang-kadang potongan rambut dari anak-anak kecil sebagai simbol penolak bala.
BACA JUGA:Clorot : Paduan Rasa Manis yang Terinspirasi dari Tradisi Kuno Jawa
BACA JUGA:Nasi Kandar : Warisan Kuliner Ikonik dari Pulau Pinang yang Menembus Batas Generasi
Setelah doa bersama di balai desa, warga kemudian beriringan menuju pantai, membawa sesaji dalam gunungan kecil.
Arak-arakan ini disambut meriah oleh warga, termasuk para wisatawan yang sengaja datang untuk menyaksikan prosesi budaya langka ini.
Puncaknya adalah saat para nelayan membawa perahu hias ke tengah laut dan menaburkan mentimun ke perairan.
Diiringi doa-doa dan lantunan tembang Jawa, mentimun-mentimun tersebut dilepaskan sebagai lambang pelepasan penyakit, kesialan, dan harapan akan tahun yang lebih baik.
Mentimun dalam budaya Jawa memiliki banyak makna.
Ia dianggap sebagai simbol kesegaran, kemurnian, dan pelindung dari energi negatif.
Menaburkan mentimun ke laut diartikan sebagai penyerahan diri manusia kepada alam, agar senantiasa diberi perlindungan dan rezeki.
“Air laut dipercaya bisa menetralisir energi buruk. Mentimun menjadi kendaraan simbolik untuk membawa energi negatif itu pergi bersama arus laut,” jelas Nyi Lestari, seorang budayawan lokal.
Selain itu, rambut anak-anak yang ikut dilarung memiliki arti simbolik sebagai permohonan keselamatan generasi muda—agar dijauhkan dari marabahaya dan tumbuh sehat.
Di tengah arus modernisasi dan gempuran budaya populer, tradisi Roco Timun tetap dipertahankan oleh masyarakat dengan penuh kebanggaan.
Pemerintah daerah juga mulai menjadikan ritual ini sebagai bagian dari kalender pariwisata budaya, meski tetap menjaga esensi spiritualnya.
“Kami tidak ingin makna sakral dari Roco Timun hilang hanya karena dikomersialkan.
Jadi walaupun banyak turis yang datang, ritual inti tetap dijaga hanya oleh warga lokal,” kata Kepala Desa Tasikagung, Suraji.