PALPOS.ID - Di tengah derasnya tren makanan kekinian seperti croffle, korean street food, hingga makanan fusion, keberadaan jajanan tradisional Indonesia tak lantas hilang ditelan zaman.
Salah satunya adalah cimol, singkatan dari "aci digemol", jajanan khas Sunda yang tetap eksis dan digemari oleh berbagai kalangan, dari anak-anak hingga orang dewasa.
Cimol, yang berbahan dasar tepung kanji atau tepung tapioka, merupakan makanan sederhana yang memiliki cita rasa khas.
Meskipun tampilannya cenderung sederhana – bulat kecil dan berwarna putih polos – namun rasa kenyal di dalam dan sedikit garing di luar membuatnya memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat Indonesia.
BACA JUGA:Piscok, Camilan Kekinian yang Tetap Jadi Favorit dari Masa ke Masa
BACA JUGA:Cakwe, Jajanan Klasik yang Tetap Eksis di Tengah Gempuran Makanan Modern
Cimol berasal dari wilayah Jawa Barat, khususnya Bandung, yang memang dikenal sebagai pusat kreasi kuliner berbahan dasar aci.
Bersama dengan jajanan lain seperti cilok, cireng, dan cilor, cimol menjadi bagian dari budaya kuliner rakyat yang murah meriah namun memikat.
Menurut penuturan beberapa pelaku usaha kuliner tradisional di Bandung, cimol pertama kali populer pada awal tahun 2000-an, bersamaan dengan meningkatnya ketertarikan masyarakat terhadap jajanan kaki lima.
Pada masa itu, cimol dijual di depan sekolah, pasar tradisional, dan berbagai titik keramaian dengan harga sangat terjangkau.
BACA JUGA:Inovasi Camilan Tradisional : Bola-Bola Ubi Kembali Populer di Kalangan Milenial
BACA JUGA:Perkedel Kentang, Hidangan Tradisional yang Tak Pernah Kehilangan Tempat di Hati Rakyat Indonesia
“Dulu saya jual cimol cuma seratus perak satu biji.
Anak-anak sekolah suka banget, apalagi kalau ditabur bumbu pedas,” kata Pak Dadang, seorang pedagang cimol keliling yang telah berjualan selama lebih dari 20 tahun di kawasan Cibaduyut, Bandung.
Cimol dibuat dengan mencampurkan tepung kanji, bawang putih halus, garam, dan air secukupnya hingga membentuk adonan kenyal.
Adonan ini kemudian dibentuk menjadi bulatan-bulatan kecil sebelum digoreng dalam minyak banyak dengan suhu sedang agar tidak meledak.
BACA JUGA:Bakwan Jagung : Camilan Tradisional yang Tetap Eksis di Era Modern
BACA JUGA:Ote-Ote Porong : Cita Rasa Legendaris dari Sidoarjo yang Tak Pernah Lekang oleh Waktu
Salah satu keunikan cimol adalah teknik penggorengannya.
Tidak seperti gorengan lain yang digoreng dalam minyak panas, cimol justru dimasukkan ke dalam minyak dingin terlebih dahulu, lalu dipanaskan perlahan.
Teknik ini membuat cimol matang merata, bagian luar tetap kenyal tanpa meletus, dan tidak mengeras.
Setelah digoreng, cimol biasanya ditaburi bumbu bubuk seperti cabai, keju, balado, atau barbeque sesuai selera pembeli.
Inovasi bumbu inilah yang membuat cimol tetap diminati, karena bisa disesuaikan dengan tren rasa yang berkembang.
Seiring perkembangan zaman, cimol juga mengalami berbagai inovasi.
Kini, banyak pelaku UMKM maupun pebisnis kuliner yang mengemas cimol dengan tampilan dan rasa yang lebih modern.
Cimol mozzarella, cimol crispy, hingga cimol frozen siap goreng menjadi varian baru yang merambah pasar online dan modern.
“Awalnya saya cuma iseng jual cimol di media sosial.
Tapi karena banyak yang suka, akhirnya saya bikin brand sendiri, kemas cimol frozen, dan sekarang sudah kirim ke luar kota,” ujar Nia Rahma, pemilik usaha Cimol Ngeunah asal Cimahi.
Inovasi tersebut membuat cimol bukan hanya menjadi makanan pinggir jalan, tapi juga punya nilai jual lebih tinggi.
Beberapa gerai bahkan menjual cimol dengan kemasan eksklusif di pusat perbelanjaan dengan harga premium.
Meski popularitasnya tetap tinggi, pelaku usaha cimol menghadapi sejumlah tantangan.
Salah satunya adalah isu kebersihan dan kesehatan makanan kaki lima.
Beberapa kasus cimol meledak saat digoreng atau penggunaan minyak goreng berulang menjadi perhatian konsumen yang makin sadar kesehatan.
Pemerintah daerah dan dinas kesehatan pun diharapkan dapat memberi pelatihan dan pembinaan bagi para pedagang kaki lima agar dapat menjaga standar kebersihan dan keamanan pangan.
“Kalau bisa, cimol ini jangan hanya dilihat sebagai jajanan murahan. Banyak orang bergantung hidup dari jualan cimol.
Jadi perlu dukungan agar lebih layak dan aman untuk semua,” kata Lina Marlina, pengamat kuliner tradisional dari Universitas Padjadjaran.
Keberadaan cimol bukan sekadar soal rasa atau keuntungan bisnis, tapi juga bagian dari warisan budaya kuliner Indonesia.
Di tengah arus globalisasi dan makanan asing yang terus masuk, cimol menjadi simbol daya tahan makanan lokal yang sederhana namun mampu bersaing.
Upaya untuk mengangkat cimol ke panggung yang lebih tinggi juga mulai dilakukan, seperti mengikutsertakannya dalam festival kuliner nasional hingga pelatihan UMKM binaan pemerintah.
Dengan dukungan inovasi, pemasaran digital, dan perhatian pada kualitas, cimol berpeluang besar untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga menjadi ikon jajanan tradisional Indonesia yang mendunia.