Tantangan dan Peluang Pengelolaan Hutan Meranti Harapan Menuju Model Kolaboratif yang Responsif

Selasa 16-12-2025,20:30 WIB
Reporter : Bambang
Editor : Bambang

Kegiatan ini menjadi penting mengingat Sumsel, memiliki delapan kantong habitat gajah Sumatera seluas 1.765.351,5 ha dan 8 kantong habitat Harimau Sumatera seluas 1.859.495,42 ha. 

Sayangnya, habitat tersebut terancam oleh alih fungsi lahan, fragmentasi, konflik manusia-satwa, dan perburuan liar.

“Kawasan konservasi saat ini terisolasi. Tanpa konektivitas, populasi satwa seperti gajah dan harimau terancam mengalami penurunan genetik dan konflik dengan manusia,” jelas perwakilan BKSDA Sumsel dalam paparannya.

Sebagai solusi, BKSDA bersama para pihak telah menginisiasi Koridor Satwa Meranti Dangku seluas 206.946,51 hektar. Koridor ini dirancang untuk menghubungkan kantong habitat gajah di Sugihan Simpang Heran dengan kantong habitat harimau di Jambul Nanti Patah, sehingga satwa dapat bermigrasi dan berinteraksi secara alami.

“Koridor ini diusulkan sebagai Kawasan Ekosistem Esensial (KEE), yang pengelolaannya akan melibatkan multipihak melalui Forum Kolaborasi yang telah dibentuk sejak 2020,” tambahnya.

Dokumen tersebut juga menyoroti dasar hukum kuat yang mendukung upaya ini, mulai dari UU No. 5 Tahun 1990, UU No. 32 Tahun 2024, hingga Instruksi Presiden Tahun 2023 yang memerintahkan koordinasi lintas kementerian untuk pelestarian keanekaragaman hayati.

Tahapan yang telah dilakukan meliputi verifikasi lapangan, studi data sekunder, ground check bersama akademisi Universitas Sriwijaya, hingga sosialisasi kepada para pemangku kepentingan, termasuk perusahaan pemegang konsesi di sekitar koridor.

“Kami juga telah menyusun rencana aksi pengelolaan, termasuk patroli terpadu, pemasangan rambu peringatan, serta program mitigasi konflik berbasis masyarakat,” papar tim BKSDA.

Namun, sejumlah tantangan masih menghadang, terutama terkait komitmen para pihak, pendanaan berkelanjutan, serta penegakan hukum terhadap perburuan liar dan perambahan kawasan.

Kepala BKSDA Sumsel menegaskan, “Perlindungan satwa liar adalah tanggung jawab bersama. Dunia usaha, pemerintah, akademisi, LSM, dan masyarakat harus bersinergi. Koridor ini bukan hanya untuk satwa, tetapi untuk keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan manusia.”

Diharapkan, dengan dukungan penuh semua pihak, Koridor Meranti Dangku dapat menjadi model pengelolaan lanskap berkelanjutan yang dapat direplikasi di wilayah lain di Sumatera.

Alih fungsi lahan, perambahan, fragmentasi habitat, dan interaksi negatif manusia-satwa mengancam kelestariannya. 

Sebuah kajian sosial-ekologis terbaru yang digagas Universitas Sriwijaya mengungkap dampak serius “efek tepi”, di mana pembukaan lahan menyebabkan perubahan mikroklimat, meningkatnya risiko kebakaran, dan menyusutnya habitat inti satwa liar.

“Batas antara Hutan Harapan dan HTI, misalnya, menunjukkan penurunan signifikan populasi burung understory. Jalan akses dan kanal sawit juga memicu fragmentasi dan mengeringkan lahan basah,” jelas tim peneliti Unsri.

Untuk mengatasi hal ini, diperlukan pendekatan terpadu yang menempatkan manusia sebagai bagian dari solusi ekosistem. Pemetaan partisipatif konflik lahan dan strategi mata pencaharian masyarakat menjadi langkah awal yang krusial. 

Riset biodiversitas secara ilmiah memunculkan rekomendasi antara lain: Restorasi koridor ekologi dengan lebar ideal 300–500 meter, Reforestasi tepi hutan untuk mitigasi efek tepi, dan Pemulihan konektivitas hidrologi dan kanopi.

Kategori :