2. Efisiensi Ekonomi
Tarif sebaiknya memberikan signal ke pelanggan bahwa mereka harus efisien dalam menggunakan air. Oleh sebab itu tarif air sebaiknya dibuat tarif progresif dimana tarif air akan semakin mahal jika volume air yang digunakan semakin banyak.
3. Keadilan
Tarif air dibuat hendaknya menyesuaikan dengan kemampuan pelanggan. Pelanggan yang mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih tinggi dikenakan tarif yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelanggan yang kemampuan ekonominya rendah. Oleh sebab itu prinsip subsidi silang perlu diterapkan dalam penetapan tarif air minum.
4. Keterjangkauan
Keterjangkauan adalah tarif air yang dibuat dapat terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Untuk keterjangkauan harga air, maka pemerintah mengatur tarif air dengan menggunakan rumus harga air untuk kelompok rumah tangga sederhana sebanyak 10 m3 harus lebih kecil dari 4 persen dari upah minimum regional per bulan. Melalui rumus ini maka harga air dipastikan dapat terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.
Dari data yang ada diketahui bahwa banyak PDAM yang sakit, diutamakan karena tarif yang diterapkan tidak dapat menutupi biaya air atau tarif yang belum (Full Cost Recovery) FCR. Hal ini berarti tarif yang diterapkan belum dapat menutupi semua biaya pelayanan air minum ke pelanggan. Kementerian Pekerjaan Umum pada tahun 2014 melaporkan dari 350 PDAM di Indonesia 75 persen nya atau 245 PDAM belum menerapkan tarif yang FCR.
Pertanyaannya mengapa PDAM tersebut tidak menerapkan tarif FCR. Hal ini karena didalam penerapan tarif PDAM harus mendapat “restu” dari pemilik perusahaan, dalam hal ini pimpinan pemerintah daerah yaitu gubernur, walikota atau bupati. Sejak era pemilihan langsung ini, banyak pemerintah daerah mengutamakan popularitas. Populeritas diterjemahkan dalam bentuk semua biaya murah, termasuk tarif air.
Padahal dengan sakitnya PDAM membuat jangkauan pelayanannya terbatas. Akibatnya banyak masyarakat yang tidak dapat menikmati air bersih melalui jaringan perpipaan. Beberapa penelitian membuktikan bahwa masyarakat yang tidak mendapat akses air melalui jaringan perpipaan mengeluarkan biaya yang jauh lebih besar untuk mendapatkan air dibanding dengan yang memiliki akses air melalui jaringan.
Sebagai contoh rata-rata masyarakat tanpa air dari jaringan perpipaan membeli air dengan harga adalah Rp 2.000 untuk satu derijen isi 20 liter atau sama dengan Rp 100 per liter berarti harga per m3 adalah Rp 100.000 bandingkan dengan harga air dari jaringan perpipaan rata-rata Nasional adalah Rp 4.148 per m3.
Lebih ironis lagi masyarakat yang tidak mempunyai akses air jaringan perpipaan sebagian besar adalah masyarkat yang berpenghasilan rendah. Fakta ini membuktikan bahwa tarif air murah sebenarnya akan membebani masyarakat yang berpenghasilan rendah dan merupakan pertolongan semu kepada masyarakat kecil yang hanya menjadi bunga bibir pada saat kampanye pemilihan pimpinan daerah. (*)
*)Andi Wijaya Adani, Direktur Perumda Tirta Musi Palembang