Dia memindahkan kekuasaannya pada tahun 1659 ke Kuto Carancang.
Kemudian Belanda mengambil alih Pasar 16 Ilir setelah menaklukkan Kesultanan Palembang Darussalam.
Di bawah pengaruh Belanda yang kemudian mengangkat perekonomian di kawasan Pasar 16 Ilir Palembang.
Kala itu para pedagang di Pasar 16 Ilir berdagang secara menggelar dagangannya dengan cara dihampar ke tanah.
Lalu pada tahun 1918 dibangunkan los-los berjualan.
Sekitar tahun 1939 dipermanenkan untuk para pedagang di kawasan tersebut.
Pada masa Kolonial Hindia Belanda, Pasar 16 Ilir merupakan pasar utama yang memberikan keuntungan atau surplus dan pajak yang besar bagi pemerintahan.
Masih di zaman Kolonial Belanda, Pasar 16 Ilir mendapatkan perhatian besar seiring ditetapkannya Palembang dengan status Kotapraja.
Kotapraja yang memiliki otoritas lokal atau ditetapkannya menjadi gemeente pada 1 April 1906 oleh Hindia Belanda.
Palembang yang dipimpin oleh Walikota mulai merencanakan perencanaan penataan pasar-pasar lain dengan tujuan untuk menjadi pemasukan kota lewat pajak perdagangan.
Setelah itu adanya renovasi Pasar 16 Ilir yang menghubungkan pedagang dan pembeli dari ulu dan ilir.
Penataan di Pasar 16 Ilir juga berhubungan dengan perbaikan infrastruktur jalan dan jembatan.
Pada masa itu, pemukiman warga dibagi menjadi berdasarkan ras dan agama.
Orang Cina bermukim di 7-10 Ulu dan Arab di daerah 13-14 Ulu.
Namun setelah diberlakukannya Palembang sebagai Kota Otonom, orang China mulai menyebar salah satunya Pasar 16 sebagai tujuan.
Awalnya para pedagang China menyewa tanah di pasar, tapi kemudian tahun 1913 ternyata tanah yang mereka sewakan dari bangsawan Palembang itu dibeli.