Inisiasi pergantian nama menjadi Provinsi Pasundan bukan semata aspirasi tanpa dasar hukum.
Ini diakui dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 30 tahun 2012 tentang pedoman pemberian nama ibu kota, nama daerah, dan pemindahan ibu kota, serta diatur dalam UU Otda 32/2004 jo UU 23/2014.
Contoh perubahan nama provinsi seperti Papua menjadi Irian Jaya dan Aceh menjadi Nangroe Aceh Darussalam memberikan landasan hukum bagi perubahan ini.
BACA JUGA:17 Daerah di Provinsi Jawa Barat Mengusulkan Pemekaran Kabupaten/Kota Baru
BACA JUGA: Pemekaran Provinsi Jawa Barat, Kota Cipanas Bersiap untuk Otonomi 5 Kecamatan Siap Bergabung
Perlu diingat, pergantian nama tidak mengubah struktur pemerintahan dan jumlah kabupaten/kota yang sudah ada di Indonesia.
Ini hanya mencerminkan perubahan identitas dan memberikan dorongan positif bagi masyarakat Pasundan untuk lebih menghargai akar budayanya.
Dampak Globalisasi terhadap Identitas Lokal
Prof. Asep Syaifuddin, seorang akademisi terkemuka, menyoroti dampak globalisasi terhadap identitas Tatar Pasundan.
Menurutnya, sejak 2003, prestasi pendidikan di Jawa Barat terus menurun.
BACA JUGA:Mewujudkan Pembangunan dan Pemekaran: 17 Kabupaten/Kota Baru di Provinsi Jawa Barat
Meskipun posisi kemiskinan bertahan di peringkat 15, terlihat adanya kehilangan jati diri di antara masyarakat Pasundan dibandingkan dengan daerah lain seperti Banten, Papua Barat, Nangroe Aceh Darussalam, dan sebagainya.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menggambarkan bahwa persentase partisipasi usia pendidikan SMP di Jawa Barat berada di peringkat 24, kalah dengan Papua Barat dan Aceh.
Begitu pula dengan jumlah penduduk miskin yang berada di urutan 15. Muncul pertanyaan kritis, apakah perubahan nama menjadi Provinsi Pasundan dapat mengembalikan kejayaan pendidikan dan menguatkan identitas masyarakat?
Tanggapan Pemerintah Jokowi dan Tantangan Masa Depan