BACA JUGA:Eksistensi Keberadaan Masyarakat yang Saling Membutuhkan Menurut Persfektif Al-Qur'an
Para influencer menciptakan konten deinfluencing terkait berbagai hal seperti produk skincare, make-up, tas, sepatu, baju bermerk, dan barang-barang mewah lainnya.
Mereka berusaha memberikan informasi dan pendidikan berdasarkan pengalaman pribadi serta pengetahuan dalam bidang yang mereka kuasai.
Mengapa Deinfluencing Penting?
Konsumerisme, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dapat diartikan sebagai gaya hidup yang menekankan bahwa barang-barang mewah adalah tolak ukur kebahagiaan, kesenangan, dan pemenuhan kebutuhan.
BACA JUGA:Konflik Lahan Perkebunan BUMN, Ancaman Kedaulatan Negara
Konsumerisme yang berlebihan berdampak negatif pada masyarakat dan lingkungan karena mendukung produksi berlebihan dan memicu masalah lingkungan.
Masyarakat konsumerisme juga rentan terjerat dalam utang akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan dan kemampuan ekonomi.
Tantangan utama deinfluencing adalah bagaimana influencer dapat mengubah pola pikir dan kebiasaan konsumsi yang sudah tertanam dalam masyarakat selama bertahun-tahun.
Banyak orang masih tergoda oleh iklan, tren, dan tekanan sosial untuk terus membeli barang baru tanpa mempertimbangkan nilai guna dari barang tersebut.
BACA JUGA:Singkong Rebus dan Gigi Berlubang
Oleh karena itu, diperlukan upaya keras untuk meningkatkan kesadaran akan dampak negatif dari konsumerisme berlebihan dengan mengedukasi masyarakat tentang alternatif yang lebih baik.
Menyikapi Deinfluencing
Tren deinfluencing menjadi langkah awal untuk mengubah paradigma masyarakat konsumerisme yang sering kali mengikuti tren tanpa pertimbangan.
Melalui tren ini, masyarakat dihadapkan pada kesadaran akan pentingnya pengelolaan sumber daya, ekonomi, dan konsumsi yang lebih bijak.
Dengan fokus pada hal-hal yang benar-benar penting sesuai dengan kebutuhan, diharapkan masyarakat dapat mengurangi perilaku boros dan menjadi lebih bertanggung jawab dalam memilih produk yang dibeli.