Menurut Tito, situasi ini mengakibatkan jumlah tenaga honorer di pemerintahan daerah terus bertambah tanpa perencanaan yang baik.
Pegawai honorer ini seringkali tidak memiliki tugas yang jelas atau pekerjaan yang maksimal.
BACA JUGA:Penetapan PP Manajemen ASN yang Ditunggu Jutaan Honorer dan PPPK Belum Jelas Waktunya
BACA JUGA:Target Semua Tenaga Honorer Diangkat Jadi PPPK, DPRD dan Pemkab Muba Datangi Kemenpan- RB
“Mereka datang ke kantor pukul 08.00 pagi, tetapi sudah pulang pukul 10.00,” tambahnya.
Dampak terhadap Anggaran Pemda
Keberadaan tenaga honorer yang tidak memiliki tugas signifikan dan merupakan titipan tim sukses tentu memberikan beban berat pada anggaran daerah.
Biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar gaji para pegawai honorer ini meningkat secara signifikan, terutama di daerah-daerah yang memiliki jumlah pegawai honorer yang besar.
Mendagri Tito menyoroti bagaimana fenomena ini turut membebani keuangan daerah yang sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk hal-hal lain yang lebih produktif.
BACA JUGA:Penghentian Rekrutmen Tenaga Honorer Menguatkan Sistem Meritokrasi dalam Birokrasi
BACA JUGA:Larangan Pengangkatan Tenaga Honorer Baru, Ini Tanggapan BKPSDM Lubuklinggau
Akibatnya, banyak pemda yang kesulitan dalam mengelola anggaran, terutama jika pendapatan asli daerah (PAD) mereka tidak mencukupi.
“Setiap kepala daerah baru terpilih, selalu ada tim sukses baru yang masuk, sementara yang lama masih tetap ada. Ini memperparah beban anggaran,” jelas Tito.
Tak hanya soal anggaran, peningkatan jumlah pegawai honorer juga berdampak pada efektivitas kerja di lingkungan pemerintahan daerah.
Banyak pegawai honorer yang tidak memiliki keahlian spesifik, sehingga tugas-tugas administratif atau pelayanan publik tidak berjalan optimal.