Serangan DDoS pada Media Siber: Ancaman Serius bagi Kebebasan Pers di Indonesia

Jumat 21-02-2025,16:19 WIB
Reporter : Bambang
Editor : Yen_har

Salah satu serangan DDoS terbesar terjadi pada September 2022, ketika situs Narasi.tv mengalami serangan besar-besaran hingga semua kontennya tidak bisa diakses. 

Beberapa akun media sosial dan perangkat awak redaksi Narasi juga diretas oleh pihak tak dikenal. 

Ancaman pun berlanjut, dengan pesan berbunyi “diam atau mati” yang dikirimkan kepada jurnalis Narasi. 

BACA JUGA:Meningkatkan Kapasitas Jurnalis di Era Digital, PHE Gelar Media Gathering SHU

BACA JUGA:Sowan ke Muba: Pemkab Musi Rawas Melangkah Menuju Era Digital dengan Aplikasi e-Office

Hingga kini, kasus ini masih belum menemukan titik terang meskipun telah dilaporkan ke polisi.

Setahun kemudian, KBR.ID juga mengalami serangan serupa yang membuat situsnya tidak bisa diakses selama tujuh hari. 

Pemimpin Redaksi KBR, Citra Dyah Prastuti, mengatakan bahwa redaksi harus beradaptasi dengan mengalihkan publikasi ke platform media sosial. 

“Kami terpaksa mencari alternatif lain agar berita tetap bisa diakses oleh publik,” ujarnya.

Pada September 2023, Tempo mengalami serangan DDoS setelah menerbitkan laporan tentang keterlibatan aparat dalam perjudian online.

Suara.com juga menjadi target serangan serupa pada Oktober 2023, setelah mengangkat isu yang sama. 

CEO Suara.com, Suwarjono, menjelaskan bahwa serangan ini dirancang agar tampak seperti lonjakan pengunjung, padahal itu adalah lalu lintas bot yang membebani server mereka.

Tak hanya media nasional, media lokal juga menjadi target serangan DDoS. Pojoksatu.com melaporkan bahwa mereka mengalami serangan siber selama 2020 hingga 2022, dengan serangan bot dari luar negeri yang mencapai puluhan juta traffic per detik. 

Harapanrakyat.com pun mengalami nasib serupa, dengan dampak yang signifikan terhadap performa situs dan penurunan pendapatan dari iklan.

AMSI mendesak pemerintah dan Dewan Pers untuk mengambil langkah konkret dalam menangani ancaman digital terhadap media. 

“Serangan ini harus dianggap sebagai bentuk kekerasan terhadap pers,” kata Wahyu Dhyatmika. 

Kategori :