“Bukan rahasia lagi bahwa kebebasan pers di Indonesia saat ini masih jauh dari ideal, bahkan memburuk,” ujar Nany.
Ia menekankan bahwa pembicaraan soal kebebasan pers seringkali hanya berputar di kalangan jurnalis profesional. Padahal, pers mahasiswa menghadapi tantangan yang tak kalah kompleks dan berat.
BACA JUGA:Persiapan Matang, 107 Pengurus KONI Muara Enim 2025-2030 Segera Dilantik
“Saya cuma ingin mengatakan bahwa tantangan ke depan itu semakin kompleks. Di satu sisi kita menghadapi konten berbahaya, hoaks, disinformasi, ujaran kebencian. Tapi di sisi lain, pers mahasiswa juga jadi sasaran sensor, tekanan institusi, bahkan serangan digital,” tambahnya tegas.
Ancaman Nyata, Data Tak Terbantahkan
Sekretaris Jenderal PPMI, Wahyu Gilang, membawa data yang menggetarkan kesadaran kolektif peserta seminar.
Dari tahun 2013 hingga 2021, tercatat 331 kasus kekerasan terhadap pers mahasiswa terjadi di berbagai kampus di Indonesia.
Bentuk kekerasan itu beragam: pembredelan, intimidasi, pemanggilan oleh pihak rektorat, hingga kekerasan fisik.
BACA JUGA:Satu Kemenangan Lagi, Optimis Persib Selangkah Lagi Juara!
BACA JUGA:AMSI Dukung Penguatan Fungsi dan Peran Dewan Pers di Era Digital: Harapan Baru untuk Dunia Pers
“Yang menyedihkan, pelakunya tak jarang datang dari dalam institusi kampus sendiri,” ungkap Wahyu.
Data ini memperlihatkan betapa rapuhnya perlindungan terhadap jurnalis muda yang justru sedang berproses memahami makna kebebasan berekspresi dan tanggung jawab jurnalistik.
Peran UNESCO: Mendukung Suara Mahasiswa di Era AI
Dalam sesi daringnya, perwakilan UNESCO, Ana Lomtadze, memberikan pandangan yang menukik relevansi zaman.
Menurutnya, dunia kini sedang menghadapi gelombang transformasi digital yang dipicu pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (AI).