Sementara itu, Direktur Eksekutif LBH Pers, Mustafa Layong, menyampaikan pentingnya advokasi hukum untuk melindungi pers mahasiswa yang sering menjadi korban pelanggaran hak.
Ia juga mendorong kolaborasi lintas organisasi untuk membentuk mekanisme perlindungan terpadu yang melibatkan LBH Pers, AJI, Dewan Pers, dan Kementerian Pendidikan.
Dari Refleksi Menuju Aksi
Forum ini tidak berhenti di ruang diskusi. Para peserta juga menghasilkan sejumlah rekomendasi strategis, di antaranya:
Mendorong Dewan Pers untuk membentuk indeks khusus kebebasan pers mahasiswa.
Mengembangkan modul literasi media dan pelatihan keamanan digital berbasis kampus.
Membentuk task force advokasi untuk kasus kekerasan terhadap pers mahasiswa.
Menuntut pemerintah untuk memasukkan perlindungan pers mahasiswa dalam regulasi media dan pendidikan tinggi.
Semua rekomendasi ini disambut baik oleh UNESCO dan mitra penyelenggara, dengan komitmen untuk mengawal implementasinya secara konsisten dan menyeluruh.
Suara yang Tak Boleh Dibungkam
Pers mahasiswa adalah nafas demokrasi kampus. Mereka adalah barisan awal dalam perjuangan hak asasi, kebenaran, dan keadilan.
Dalam pusaran era digital dan tekanan dari berbagai sisi, komunitas ini membutuhkan perlindungan, penguatan, dan ruang untuk berkembang.
“Acara ini bukan sekadar seremoni. Ini adalah awal dari perjuangan bersama,” pungkas Nany Afrida.
Dengan dukungan lintas sektor dan semangat solidaritas yang menguat, pers mahasiswa Indonesia punya harapan baru: menjadi benteng informasi yang kritis, independen, dan profesional, dalam dunia digital yang terus berubah.