Makanan ini sering disajikan dalam acara syukuran, hajatan, hingga upacara adat sebagai simbol harapan akan keberkahan dan kemakmuran.
BACA JUGA:Kajukalti : Makanan Tradisional yang Kembali Menggugah Selera
BACA JUGA:Peda : manisan tradisional india yang melekat di setiap perayaan suci
Masyarakat pedesaan di masa lampau membuat gemplong dengan cara tradisional.
Beras ketan direndam semalaman, kemudian ditumbuk atau dikukus hingga menjadi adonan lengket.
Setelah itu, dicetak, digoreng dalam minyak kelapa, dan disiram dengan larutan gula merah yang kental.
Beberapa variasi mengganti gula merah dengan gula pasir putih untuk memberikan warna yang berbeda namun tetap mempertahankan cita rasa asli.
Beberapa komunitas pecinta kuliner tradisional kini mulai menggalakkan kembali konsumsi gemplong melalui berbagai kegiatan seperti festival makanan, pelatihan membuat jajanan pasar, hingga memasarkan gemplong secara daring.
Salah satunya adalah Komunitas Cita Rasa Nusantara yang aktif memperkenalkan makanan-makanan tradisional ke generasi muda lewat media sosial.
Menurut Ketua Komunitas, Rini Wulandari, gemplong adalah warisan budaya yang harus dilestarikan.
“Bukan hanya karena rasanya enak dan unik, tapi juga karena gemplong mencerminkan kearifan lokal masyarakat Indonesia.
Kita harus bangga dengan camilan kita sendiri, jangan sampai generasi berikutnya hanya mengenal donat atau croissant,” ujarnya dalam sebuah acara diskusi kuliner di Jakarta.
Di Yogyakarta, beberapa UMKM mulai kembali memproduksi gemplong dan menjualnya dalam kemasan modern yang menarik.
Gemplong diberi label kekinian seperti "Gemplong Crunchy" atau "Gemplong Delight" untuk menarik minat konsumen muda.
Strategi ini terbukti cukup berhasil, terutama di kalangan pecinta kuliner tradisional dan wisatawan lokal yang ingin mencicipi makanan khas daerah.
Selain dari masyarakat, peran pemerintah daerah dan sektor pendidikan sangat penting dalam pelestarian kuliner lokal seperti gemplong.