“Kue ini sederhana tapi penuh makna. Bungkus daun pisangnya menggambarkan keterikatan dengan alam, dan isian kelapa yang manis menggambarkan cita rasa kehidupan yang diharapkan: manis, penuh kehangatan,” jelasnya.
BACA JUGA:Putu mayang : kuliner tradisional nusantara yang kian digemari
BACA JUGA: Sayur Babanci, Warisan Kuliner Betawi yang Hampir Punah
Meski sempat tersisih oleh masuknya kue-kue modern seperti brownies, red velvet, dan mille crepe, kue Bugis Ketan kini kembali diminati, terutama oleh kalangan muda yang mulai sadar akan pentingnya melestarikan kuliner tradisional.
Inisiatif pelestarian ini juga datang dari berbagai komunitas kuliner dan pelaku usaha mikro.
Salah satunya adalah Komunitas Pencinta Kue Tradisional Nusantara yang kerap menggelar workshop membuat kue Bugis di sekolah dan kampus.
Selain itu, banyak pelaku UMKM mulai menjual Bugis Ketan dalam kemasan modern dan higienis, yang menarik bagi pasar urban dan generasi milenial.
Salah satu pelaku usaha muda, Fathia Nur, memasarkan Bugis Ketan dengan merek “Rasa Loka”.
Ia memadukan resep tradisional dengan sentuhan kekinian, seperti isian cokelat dan keju, tanpa meninggalkan cita rasa aslinya.
"Saya ingin anak-anak muda tahu bahwa kue tradisional kita enggak kalah enak dari yang impor.
Ini warisan kita sendiri," katanya.
Meski popularitasnya kembali meningkat, pelestarian Bugis Ketan tidak lepas dari tantangan.
Salah satunya adalah ketersediaan bahan baku seperti kelapa parut segar dan daun pisang, yang mulai sulit didapat di kota besar.
Selain itu, proses pembuatannya yang cukup rumit membuat sebagian orang lebih memilih makanan instan.
Namun demikian, dukungan dari pemerintah daerah dan berbagai pihak terhadap pengembangan kuliner lokal memberikan harapan.
Dinas Pariwisata Sulawesi Selatan, misalnya, memasukkan kue Bugis sebagai bagian dari paket wisata kuliner lokal yang ditawarkan kepada turis domestik dan mancanegara.