Merek-merek besar seperti “Soto Kudus Blok M” atau “Soto Kudus Senayan” menjadi perpanjangan tangan dari kelezatan khas Kudus tersebut.
BACA JUGA:Roti Jala, Kuliner Khas Melayu yang Kian Populer di Tengah Masyarakat Urban
BACA JUGA:Isuzu Panther, Mobil Keluarga 90an yang Masih Jadi Primadona di Pasar Mobil Bekas
Namun demikian, tidak semua soto Kudus di luar kota mempertahankan keaslian rasanya.
Sebagian besar telah mengalami modifikasi sesuai selera lokal, seperti penambahan santan atau penyajian dalam porsi besar, yang sebenarnya bukan ciri khas asli.
“Saya pernah coba Soto Kudus di Jakarta, tapi beda banget. Yang asli itu kuahnya bening, gurihnya dapet dari kaldu, bukan dari santan,” komentar Nurul Aisyah (32), warga asli Kudus yang kini berdomisili di Depok.
Dibalik semangkuk soto Kudus yang terlihat sederhana, tersimpan proses memasak yang cukup panjang dan penuh ketelitian.
Pertama, kaldu ayam atau kerbau direbus bersama rempah-rempah seperti lengkuas, jahe, bawang putih, dan ketumbar selama beberapa jam hingga sarinya keluar.
Daging direbus hingga empuk, lalu disuwir atau dipotong kecil-kecil.
Mangkuk kecil digunakan sebagai penyajian agar porsi tetap terkontrol, sesuai filosofi Jawa tentang “cukup”.
Tak lupa, sambal rawit rebus dan perasan jeruk nipis menjadi pelengkap yang mampu menambah kompleksitas rasa.
Kerupuk, sate telur puyuh, dan tempe goreng biasanya disajikan sebagai teman makan.
Warung soto legendaris seperti Soto Kudus Pak Denuh, Soto Bu Jatmi, dan Soto Kudus Karso telah bertahan lebih dari tiga generasi.
Mereka bukan hanya menjual makanan, tetapi juga menjaga tradisi keluarga dan budaya lokal.
“Saya tidak bisa bayangkan Kudus tanpa Soto Kudus,” ujar Dini Rahmawati (45), pegiat budaya lokal.
“Ini bukan cuma soal kuliner, tapi tentang identitas kota kami. Kalau mau mengenal Kudus, cicipilah sotonya.”