Ketika Cinta Budaya Mengalahkan Hitungan Untung Rugi: Kisah Pendayung Bidar Palembang

Rabu 17-09-2025,23:13 WIB
Reporter : Erika
Editor : Romi

BACA JUGA:Pertamina Patra Niaga Regional Sumbagsel Pastikan BBM Tersedia di SPBU Muara Enim

“Berkaca dari pemeriksaan BPK sebelumnya, hadiah tidak bisa dicairkan dari rekening EO. Harus ada rekening khusus. Tahun lalu baru cair pertengahan Oktober, kemungkinan tahun ini sama,” jelasnya.

Kondisi ini memunculkan kegelisahan. Komunitas pendayung bahkan mengancam akan melakukan boikot jika hadiah tak kunjung disalurkan.

Lebih jauh lagi, mereka berharap pemerintah memberi penghargaan yang lebih layak agar bidar makin meriah dan bisa diikuti peserta dari luar Sumatera Selatan.

Semangat Tak Pernah Padam

Di tengah persoalan itu, semangat para pendayung tetap menyala. Jami, salah seorang pendayung dari Ogan Ilir, mengaku sudah lama menggeluti dunia bidar. “Saya ingin melestarikan tradisi bidar. Banyak anak muda di tempat kami yang sejak kecil sudah berlatih mendayung,” katanya.

BACA JUGA:Pemekaran Wilayah Lampung: Wacana Pembentukan 3 Provinsi Baru di Pintu Gerbang Pulau Sumatera

Ungkapan Jami menggambarkan bahwa bidar bukan sekadar lomba atau tontonan. Lebih dari itu, ia adalah sarana pendidikan karakter. Dari bidar, anak-anak muda belajar disiplin, kebersamaan, dan semangat juang.


Lomba bidar tradisional di Palembang tahun 2025--

Jejak Panjang Bidar di Palembang

Untuk memahami makna bidar, kita perlu menelusuri sejarahnya. Palembang adalah kota yang tumbuh dari sungai. Dahulu, terdapat 108 anak sungai yang mengalir dan menjadi nadi kehidupan masyarakat. Kini jumlahnya menyusut menjadi 60.

Dari sungai-sungai inilah lahir tradisi perahu bidar. Akar sejarahnya bermula dari pancalang, perahu cepat yang digunakan Kesultanan Palembang untuk patroli sungai. 

Pancalang dikayuh oleh 8–30 orang, dapat mengangkut hingga 50 orang, dan memiliki panjang 10–20 meter dengan lebar 1,5–3 meter. Karena kecepatannya, pancalang juga digunakan sebagai alat transportasi bangsawan dan perdagangan.

Para ahli sejarah menilai pancalang inilah cikal bakal bidar. Untuk melestarikannya, sejak zaman Kesultanan Palembang Darussalam digelarlah lomba perahu bidar. Wong doeloe menyebut lomba ini sebagai “kenceran”.

BACA JUGA:Sumsel Jadi Tuan Rumah MIICEMA ke-24, Wadah Intelektual Serumpun Indonesia-Malaysia

Pada masa kolonial Belanda, lomba bidar bahkan digelar untuk menyambut kedatangan Ratu Belanda dan keluarganya. Seiring waktu, bidar menjadi simbol kebanggaan wong Palembang.

Kini, lomba bidar tampil dalam dua bentuk. Pertama, perahu bidar prestasi, yang memiliki panjang 12,70 meter, tinggi 60 cm, lebar 1,2 meter, dengan 24 awak—22 pendayung, satu juragan, dan satu tukang timba air. Perahu jenis ini biasanya diperlombakan pada 17 Juni, bertepatan dengan Hari Jadi Kota Palembang.

Kedua, perahu bidar tradisional, dengan ukuran lebih besar: panjang 29 meter, tinggi 80 cm, lebar 1,5 meter, serta 57 awak. Perahu ini menjadi ikon lomba setiap Agustus, dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI.

Kategori :