Croissant sebagai dasar harus dibuat dengan proses laminasi adonan yang benar agar menghasilkan lapisan yang renyah.
Setelah itu, adonan cookies ditambahkan di bagian atas atau dalam croissant, lalu dipanggang kembali.
“Kesulitannya adalah menjaga keseimbangan antara croissant yang tidak terlalu kering dan cookies yang matang sempurna,” jelas Chef Rangga Pratama, seorang pastry chef di salah satu hotel bintang lima di Jakarta.
“Jika tidak hati-hati, salah satu bisa overcooked atau justru undercooked.”
Karena kompleksitas ini, tidak semua crookies yang beredar memiliki kualitas yang sama.
Oleh karena itu, banyak pencinta kuliner yang rela berburu ke berbagai tempat hanya untuk mencoba crookies terbaik versi mereka.
Melihat besarnya animo masyarakat, banyak pelaku industri F&B mulai menjadikan crookies sebagai produk unggulan.
Bahkan, beberapa franchise mulai bermunculan dengan konsep grab-and-go atau pop-up store yang hanya menjual crookies.
Industri bakery di Indonesia melihat crookies sebagai peluang bisnis jangka menengah yang potensial.
“Kalau bisa terus berinovasi dalam hal rasa dan konsep penyajian, crookies bisa bertahan lebih lama dan tidak hanya menjadi tren sesaat,” ujar Dimas Ardianto, konsultan bisnis kuliner.
Bahkan, saat ini sudah ada beberapa bentuk modifikasi baru seperti crookies mini (ukuran bite-size), crookies dengan topping gelato, hingga crookies savory yang berisi keju, daging, atau sayuran.
Ini menunjukkan bahwa crookies bukan sekadar tren viral, tetapi juga media kreativitas bagi para pelaku kuliner.
Crookies adalah simbol dari inovasi kuliner masa kini yang menggabungkan dua elemen klasik menjadi sesuatu yang benar-benar baru.
Dengan rasa yang memanjakan lidah, tampilan yang menggoda mata, serta daya tarik viral yang tinggi, tidak heran jika crookies menjadi salah satu fenomena kuliner paling menarik dalam beberapa tahun terakhir.
Apakah crookies akan menjadi ikon kuliner masa depan atau hanya sekadar tren sesaat? Waktu yang akan menjawab.