Kapurung : Kuliner Tradisional Luwu yang Menyatukan Rasa dan Budaya
Kapurung bukan sekadar makanan, tapi warisan budaya dari tanah Luwu yang kaya rasa dan makna.-Fhoto: Istimewa-
PALPOS.ID - Kapurung, makanan tradisional khas dari Luwu, Sulawesi Selatan, bukan sekadar sajian kuliner—ia adalah simbol identitas dan kekayaan budaya masyarakat Bugis dan Luwu.
Hidangan berbahan dasar sagu ini terus menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat, dari meja makan keluarga hingga perayaan adat yang sakral.
Dengan keunikan cita rasanya dan cara penyajiannya yang khas, Kapurung kini mulai dikenal lebih luas, bahkan menembus pasar kuliner nasional.
Kapurung berasal dari daerah Luwu, yang mencakup Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, dan Kota Palopo.
BACA JUGA:Lemper : Penganan Tradisional yang Tetap Eksis di Tengah Gempuran Makanan Modern
BACA JUGA:Nasi Goreng : Warisan Rasa Nusantara yang Mendunia
Wilayah ini dikenal sebagai salah satu pusat peradaban Bugis yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan tradisi.
Nama “Kapurung” sendiri mengacu pada proses pembentukan bola-bola sagu yang menjadi elemen utama dalam hidangan ini.
Dalam masyarakat Luwu, Kapurung bukan hanya makanan, tetapi simbol kebersamaan dan gotong royong.
Proses memasaknya sering dilakukan secara kolektif, terutama saat ada hajatan, acara adat, atau mappacci (upacara sebelum pernikahan).
BACA JUGA:Lemper : Penganan Tradisional yang Tetap Eksis di Tengah Gempuran Makanan Modern
BACA JUGA:Nasi Goreng : Warisan Rasa Nusantara yang Mendunia
Setiap orang punya peran—ada yang memarut kelapa, merebus ikan, membuat kuah, hingga menggulung sagu panas menjadi bola-bola kecil menggunakan sumpit bambu atau sendok khusus.
Bahan utama Kapurung adalah tepung sagu yang diolah menjadi adonan kental menggunakan air panas. Adonan tersebut kemudian dibentuk menjadi bola-bola kecil.
Sagu yang digunakan biasanya berasal dari pohon sagu lokal yang diolah secara tradisional oleh masyarakat setempat.
Kuah Kapurung merupakan perpaduan dari kaldu ikan, asam jawa, dan rempah-rempah seperti bawang putih, bawang merah, cabai, dan jahe.
BACA JUGA:Lampong Sagu : Menjaga Warisan Kuliner dan Potensi Ekonomi Lokal
BACA JUGA:Gulai Cancang : Warisan Rasa dari Ranah Minang yang Menggoda Lidah
Ikan yang digunakan bervariasi, mulai dari ikan bandeng, tongkol, hingga ikan laut lain tergantung ketersediaan. Di beberapa daerah, daging ayam atau udang juga digunakan sebagai variasi.
Sayuran segar seperti bayam, kangkung, kacang panjang, labu siam, dan jagung muda ditambahkan untuk memberikan rasa dan tekstur yang seimbang.
Ada juga versi Kapurung yang ditambah kacang tanah tumbuk untuk memberi rasa gurih dan khas.
Sajian ini disiram dengan kuah panas dan disajikan dalam mangkuk besar, menciptakan harmoni antara rasa asam, gurih, dan pedas.
Aromanya yang menggugah selera langsung membangkitkan kenangan akan kampung halaman bagi perantau dari Luwu.
Meski Kapurung adalah makanan tradisional, popularitasnya terus meningkat. Di Kota Makassar, misalnya, restoran yang menyajikan Kapurung mulai bermunculan, tidak hanya untuk melayani warga asal Luwu, tetapi juga masyarakat umum yang tertarik mencoba kuliner khas Sulawesi Selatan.
Bahkan, beberapa rumah makan di Jakarta dan kota besar lain mulai memasukkan Kapurung ke dalam menu mereka sebagai bagian dari promosi kuliner nusantara.
Pelestarian Kapurung juga dilakukan oleh komunitas budaya dan pemerintah daerah. Setiap tahun, Festival Kapurung digelar di Palopo dan Luwu untuk memperkenalkan hidangan ini kepada wisatawan.
Dalam festival tersebut, pengunjung bisa menyaksikan langsung proses pembuatan Kapurung, dari pengolahan sagu hingga penyajian.
Dinas Pariwisata Sulawesi Selatan pun telah mengusulkan agar Kapurung masuk dalam daftar Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia.
Tujuannya, agar makanan ini tidak hanya dikenal di tingkat lokal, tetapi juga mendapat pengakuan nasional dan internasional sebagai kekayaan kuliner Indonesia.
Salah satu tantangan pelestarian Kapurung adalah bagaimana memperkenalkannya kepada generasi muda yang lebih akrab dengan makanan cepat saji dan kuliner global. Untuk menjawab tantangan ini, sejumlah inovasi mulai dilakukan.
Beberapa chef muda asal Sulawesi Selatan mencoba mengemas Kapurung dalam tampilan yang lebih modern, seperti versi instan dengan kemasan praktis, hingga variasi fusion yang memadukan Kapurung dengan elemen kuliner lain seperti topping keju, saus modern, atau penyajian ala restoran fine dining.
Di media sosial, konten tentang Kapurung mulai mendapat perhatian. Video resep, ulasan kuliner, dan tantangan mencicipi Kapurung menjadi cara efektif untuk memperkenalkan makanan ini ke khalayak yang lebih luas, terutama generasi milenial dan Gen Z.
Kapurung adalah bukti bahwa kuliner bisa menjadi media pelestarian budaya yang kuat. Lebih dari sekadar makanan, Kapurung membawa kisah tentang tanah Luwu, tradisi yang hidup, serta semangat kebersamaan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Dengan rasa yang autentik, nilai budaya yang tinggi, dan upaya pelestarian yang terus berjalan, Kapurung layak mendapat tempat istimewa di hati masyarakat Indonesia—sebagai salah satu warisan kuliner Nusantara yang patut dijaga dan dibanggakan.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:


