Kue Putu : Aroma Tradisi yang Tak Lekang oleh Waktu
Kue putu, warisan kuliner dari masa kolonial yang terus hidup di tengah modernisasi.-Fhoto: Istimewa-
Sementara putu bambu lebih dikenal di Jawa, daerah lain memiliki versi berbeda. Di Sumatra Barat ada putu mayang, yang berbentuk seperti mi warna-warni disajikan dengan kuah gula merah dan santan.
Di Sulawesi dikenal putu cangkir yang memiliki tekstur lebih lembut. Semua versi ini menunjukkan kekayaan variasi dari satu akar tradisi yang sama.
BACA JUGA:Asinan, Kuliner Segar yang Menyegarkan Lidah dan Tradisi Nusantara
BACA JUGA:Karedok, Kuliner Tradisional Sunda yang Terus Memikat Lidah Nusantara
Bagi banyak orang Indonesia, kue putu bukan sekadar jajanan, melainkan simbol kenangan dan kebersamaan. Dahulu, pedagang kue putu sering berkeliling kampung pada malam hari.
Suara siulan uap dari kukusannya menjadi tanda yang dinanti anak-anak, yang berlarian keluar rumah sambil membawa uang receh untuk membeli beberapa potong kue hangat.
Budayawan kuliner, Suryani Widjaja, mengatakan bahwa kue putu mencerminkan filosofi kesederhanaan dan gotong royong masyarakat Indonesia.
“Bahan-bahannya sederhana, tetapi ketika dikukus dan disajikan hangat, menghadirkan rasa yang mendalam.
Ini seperti kehidupan orang desa yang saling membantu dan berbagi,” ujarnya dalam wawancara dengan Kompas Kuliner.
Namun, seiring perkembangan zaman, keberadaan kue putu mulai terpinggirkan. Gaya hidup modern dan munculnya berbagai camilan instan membuat banyak pedagang tradisional gulung tikar.
Di beberapa kota besar, jumlah penjual kue putu yang berkeliling sudah jauh berkurang dibandingkan dua dekade lalu.
Meski demikian, harapan belum padam. Sejumlah komunitas kuliner dan anak muda mulai berupaya mengangkat kembali pamor kue putu.
Misalnya, di Yogyakarta dan Bandung, muncul kafe yang menjadikan kue putu sebagai menu utama, dikreasikan dengan tampilan modern seperti “Putu Latte” atau “Putu Cake Jar”
. Inovasi ini dianggap sebagai cara efektif untuk memperkenalkan jajanan tradisional kepada generasi muda.
“Penting bagi kita untuk menyesuaikan bentuk penyajian tanpa meninggalkan cita rasa asli,” kata Dimas Prabowo, pendiri kafe Nostalgia Kuliner Nusantara.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


