Pada tahun 1845, Hindia Belanda membentuk susunan pemerintahan di zuid-ooster-afdeeling van Borneo, mencakup daerah sungai Kahayan, sungai Kapuas Murung, sungai Barito, sungai Negara, serta Tanah Laut.
Di sini, suku Dayak, seperti Tumenggung Surapati dan Toemenggoeng Nicodemus Djaija Negara, memegang peranan penting.
Misi Kristen dan Perlawanan Masyarakat Pribumi
Pada tahun 1835, misionaris Kristen mulai beraktivitas di selatan Kalimantan, dengan penginjil pertama tiba pada 26 Juni 1835.
BACA JUGA:Perjuangan dan Pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah: Dari Aspirasi Hingga Pemindahan Ibu Kota
Pada 1 Mei 1859, pemerintah Hindia Belanda membuka pelabuhan di Sampit. Namun, masyarakat lokal melakukan perlawanan terhadap upaya misionaris.
Pada tahun 1917, pemerintah Hindia Belanda menerapkan sistem pemerintahan Inlands Bestuur, di mana orang Belanda mengangkat masyarakat pribumi sebagai petugas pemerintahan dengan pengawasan langsung.
Meskipun penjajah melakukan ekspedisi ke pedalaman Kalimantan, penduduk pribumi tetap melakukan perlawanan hingga abad XX.
Perkembangan Sosial dan Organisasi Masyarakat
Pada tahun 1919, generasi muda suku Dayak yang telah mengenyam pendidikan formal mendirikan Serikat Dayak dan Koperasi Dayak, yang aktif hingga tahun 1926.
BACA JUGA:Kabupaten Kotawaringin Timur Provinsi Kalimantan Tengah: Eksplorasi Keindahan dan Potensi
BACA JUGA:Eksplorasi Keindahan dan Kekayaan Katingan Provinsi Kalimantan Tengah
Pada tahun 1928, kedua organisasi tersebut dilebur menjadi Pakat Dayak, yang bergerak dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik.
Di tengah penjajahan, suku Dayak tetap mempertahankan identitas dan pada tahun 1945, Persatuan Dayak dibentuk. Namun, pada tahun 1959, Persatuan Dayak bergabung dengan PNI dan Partindo, dan akhirnya melebur menjadi IPKI.
Pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah