Kesultanan Banjar sendiri, termasuk daerah Kuin Utara, Martapura, Hulu Sungai, Distrik Pattai, Distrik Sihoeng, dan Mengkatip, menjadi daerah protektorat VOC.
Pada 1 Januari 1817, Sultan Sulaiman dari Banjar kembali menyerahkan sebagian besar wilayahnya kepada Hindia Belanda melalui traktat.
BACA JUGA:Kabupaten Kotawaringin Timur Provinsi Kalimantan Tengah: Eksplorasi Keindahan dan Potensi
BACA JUGA:Eksplorasi Keindahan dan Kekayaan Katingan Provinsi Kalimantan Tengah
Bahkan, pada 4 Mei 1826, Sultan Adam al-Watsiq Billah dari Banjar kembali mengkonfirmasi penyerahan wilayah, mencakup Kalimantan Timur, Tengah, sebagian Barat, dan sebagian Selatan.
Periode De Facto dan Pemerintahan Kolonial
Setelah Perjanjian Tumbang Anoi pada tahun 1894, wilayah pedalaman Kalimantan Tengah secara de facto tunduk kepada Hindia Belanda.
Pada sekitar tahun 1850, daerah Tanah Dusun (Barito Raya) terbagi dalam beberapa daerah pemerintahan dengan kepala-kepala daerah di bawah kendali Hindia Belanda.
Pada tahun 1845, Hindia Belanda membentuk susunan pemerintahan di zuid-ooster-afdeeling van Borneo, mencakup daerah sungai Kahayan, sungai Kapuas Murung, sungai Barito, sungai Negara, serta Tanah Laut.
BACA JUGA:Optimalkan Pembangunan dan Otonomi Baru Dari Rencana Pemekaran Wilayah Kalimantan Tengah
Di sini, suku Dayak, seperti Tumenggung Surapati dan Toemenggoeng Nicodemus Djaija Negara, memegang peranan penting.
Misi Kristen dan Perlawanan Masyarakat Pribumi
Pada tahun 1835, misionaris Kristen mulai beraktivitas di selatan Kalimantan, dengan penginjil pertama tiba pada 26 Juni 1835.
Pada 1 Mei 1859, pemerintah Hindia Belanda membuka pelabuhan di Sampit. Namun, masyarakat lokal melakukan perlawanan terhadap upaya misionaris.
Pada tahun 1917, pemerintah Hindia Belanda menerapkan sistem pemerintahan Inlands Bestuur, di mana orang Belanda mengangkat masyarakat pribumi sebagai petugas pemerintahan dengan pengawasan langsung.