Proses pengadaan Rafale sendiri dilakukan melalui pendekatan Bottom Up, dimana spesifikasi jet tempur diminta langsung oleh pengguna.
Meskipun ada alternatif lain seperti Su-35, namun pengadaannya tertunda. Proses Bottom Up menjadi kunci untuk mengetahui alutsista yang benar-benar dibutuhkan oleh pengguna, sesuai dengan situasi dan kondisi di lapangan.
Sementara proses Top Down, meskipun tidak sepenuhnya salah, biasanya digunakan dalam situasi yang mendesak, mengingat dinamika geopolitik yang terus berubah.
BACA JUGA:Kolaborasi Strategis Indonesia-Turki: 18 Tank Harimau Kuatkan Pertahanan Negara
BACA JUGA:Ada Alasan Strategis PT Pindad dalam Membuat Kendaraan Militer Maung 4x4
Sebagai contoh, pengadaan fregat FREMM yang digantikan dengan korvet Paolo Thaon Di Revel class, menunjukkan fleksibilitas dalam menghadapi perubahan situasi geopolitik di Indo Pasifik.
Tak hanya dalam pengadaan pesawat tempur, Indonesia juga harus memperhatikan akuisisi persenjataan. Rafale, dengan persenjataan lengkapnya, membawa rudal Storm Shadow yang telah terbukti efektif dalam pertempuran.
Kelebihan lainnya adalah kompatibilitasnya dengan berbagai persenjataan, seperti rudal udara-ke-udara jarak jauh "Beyond Visual Range" (BVR) METEOR dan MICA.
BACA JUGA: Mengintip Kehebatan Komodo 4x4 Recon Buatan PT Pindad
BACA JUGA:EV Scooter: Inovasi Pindad yang Mewarnai Dunia Otomotif Elektrik Indonesia
Dengan langkah ini, Indonesia tidak hanya memperkuat kekuatan udaranya tetapi juga menunjukkan kesiapannya menghadapi ancaman dengan teknologi yang mutakhir.
Rafale bukan sekadar pesawat tempur, melainkan investasi strategis untuk masa depan pertahanan udara Indonesia.***