Ketidakadilan dalam Regulasi
Selain dampaknya yang merugikan, Fabi juga menyoroti proses pembuatan regulasi yang dianggap tidak melibatkan para pemangku kepentingan industri media luar ruang.
Ketika PP ini masih dalam bentuk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), kontribusi sponsor rokok yang cukup besar bagi industri kreatif sudah mulai terdampak.
BACA JUGA:AMSI dan MGID Gelar Media ‘Meet Up’, Bahas Strategi Meraih Iklan hingga Kepercayaan Pembaca
"Ini bukan persoalan 500 meter dari satuan pendidikan saja, tetapi juga terkait penempatan reklame yang tidak boleh di jalan utama. Saya kira aturan ini harus dihilangkan karena reklame itu harus ditempatkan di tempat ramai," tegas Fabi.
Harapan Fabi saat ini adalah agar penerapan PP ini ditunda dan selama masa penundaan, pihak pengusaha diberikan kesempatan untuk menyampaikan masukan. "Kami minta direvisi, paling simple kembali ke Peraturan 109," ujarnya.
Efisiensi dan Keadilan dalam Regulasi
Senada dengan Fabi, Ketua Badan Musyawarah Regulasi Dewan Periklanan Indonesia (DPI), Heri Margono, juga menyampaikan kekhawatirannya terkait regulasi ini.
Menurutnya, sebuah regulasi harus memenuhi dua kriteria utama: keadilan dan efisiensi.
BACA JUGA:Pastikan Konten dan Bisnis Sehat, AMSI Bentuk Agency Iklan IDiA
BACA JUGA:Tumbuh Hingga 140 Persen, TADEX Semakin Dipercaya Sebagai Industri Periklanan Digital Nasional
Namun, PP Nomor 28/2024 dinilai tidak memenuhi kedua kriteria tersebut, terutama karena tidak melibatkan para pemangku kepentingan dalam proses pembuatannya. "Di PP ini ada yang merasa ketidakadilan," kata Heri.
Heri menambahkan bahwa DPI telah menyampaikan aspirasi kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebelum aturan ini disahkan, namun tidak ada respon yang diberikan.
Sikap abai Kemenkes ini sangat disayangkan, mengingat dampak langsung dari regulasi ini terhadap pelaku usaha media luar ruang serta sektor-sektor pendukungnya, seperti desainer dan percetakan, sangat besar.
Dampak Ekonomi Kreatif dan Ancaman PHK