Bank Dunia mencatat bahwa konsumen Indonesia harus membayar hingga 20 persen lebih mahal untuk membeli beras dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya.
Carolyn juga menyoroti bahwa dampak dari kebijakan ini lebih terasa bagi konsumen kelas menengah ke bawah yang menghabiskan sebagian besar penghasilan mereka untuk kebutuhan pangan.
BACA JUGA:Kota Palembang Ulang Tahun ke-1431, Warga Serbu Pasar Murah Ada Paket Beras-Migor Rp 73 Ribu
BACA JUGA:Tips Memilih Beras Ketan Berkualitas Tinggi untuk Kue Wajik yang Lezat dan Menggugah Selera
Dampak terhadap Petani Kecil
Salah satu sorotan terbesar dari laporan Bank Dunia adalah ketimpangan antara harga beras yang tinggi dan pendapatan petani kecil di Indonesia.
Meskipun konsumen harus membayar lebih mahal, petani kecil tidak merasakan dampak positif dari lonjakan harga ini.
Berdasarkan survei BPS yang dikutip oleh Carolyn, pendapatan rata-rata tahunan petani kecil di Indonesia hanya sebesar US$341 atau sekitar Rp5,18 juta.
Ini berarti rata-rata petani hanya menghasilkan sekitar Rp15.216 per hari, jauh di bawah standar kehidupan layak.
BACA JUGA:Bulog OKU Sebut Alasan Beras SPHP Naik Rp12.500/Kg
Ketimpangan ini menunjukkan bahwa keuntungan dari harga beras yang tinggi sebagian besar dinikmati oleh pedagang besar dan perusahaan besar dalam rantai pasokan beras, sementara petani kecil tetap terpinggirkan.
Selain itu, kondisi ini memperparah disparitas ekonomi di pedesaan, di mana mayoritas petani hidup dalam kondisi yang jauh dari kata sejahtera.
Tata Niaga Beras dan Kebijakan Impor
Kebijakan pembatasan impor yang diterapkan pemerintah Indonesia mendapat kritik dari banyak pihak, termasuk Bank Dunia.
Dalam laporannya, Carolyn menjelaskan bahwa pemerintah telah menaikkan standar perdagangan nontarif untuk melindungi sektor pertanian domestik.