Todung juga menyoroti bahwa hakim memaksakan konstruksi hukum dalam menginterpretasikan peristiwa hukum untuk memenuhi unsur dalam Pasal 12 huruf b Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menurutnya, pemaksaan ini terlihat dalam cara hakim mendefinisikan keuntungan dan pembagian hasil usaha sebagai pemberian hadiah.
"Ini merupakan bentuk pemaksaan konstruksi hukum yang sangat berbahaya," tegasnya.
BACA JUGA:Bawaslu Muba MoU dengan Kejari Muba Tentang Netralitas di Pilkada Muba 2024
BACA JUGA:Dua Kepala Lapas di Sumsel Bertukar Posisi
Dukungan untuk Mardani juga datang dari akademisi Departemen Hukum Administrasi Negara dan Departemen Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada, Dr. Hendry Julian Noor S.H., M.Kn, dan tim Hukum UGM.
Mereka sepakat bahwa bukti-bukti yang diajukan oleh jaksa penuntut umum tidak cukup kuat untuk membuktikan adanya unsur pidana korupsi.
Hendry juga menggarisbawahi bahwa tindakan Mardani berada dalam koridor kewenangannya sebagai kepala daerah dan tidak melanggar prosedur yang berlaku.
Kritikan terhadap kasus ini menjadi perhatian publik, terutama dalam konteks penegakan hukum di Indonesia.
Terdapat kekhawatiran bahwa kasus Mardani H. Maming bisa menjadi preseden buruk bagi pejabat publik lainnya.
Menurut para akademisi, keputusan ini berpotensi membingungkan batas antara tindakan administratif dan tindak pidana korupsi.
BACA JUGA:Pertamina Perkuat Branding Produk Lokal Melalui Partisipasi di SMEXPO 2024
"Terdapat kecenderungan untuk menjerat setiap pejabat publik dengan tuduhan korupsi, tanpa memperhatikan secara cermat unsur-unsur pidananya," ungkap Hendry.
Kasus ini menyoroti tantangan yang dihadapi sistem peradilan Indonesia, terutama dalam menjaga prinsip keadilan dan hak asasi manusia.
Publik semakin berharap agar lembaga peradilan dapat beroperasi secara transparan dan adil, serta tidak terpengaruh oleh tekanan eksternal.