Pemerintah Kaji Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD: Efisiensi atau Ancaman Demokrasi?

Jumat 13-12-2024,11:35 WIB
Reporter : Bambang
Editor : Yen_har

“Berapa puluh triliun rupiah habis hanya untuk satu-dua hari pemilihan. Anggaran sebesar itu seharusnya bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, memperbaiki sekolah, atau membangun infrastruktur seperti irigasi,” katanya.

BACA JUGA:Gugatan Pilkada di Sumsel Melonjak: 11 Gugatan dari 9 Daerah Masuk ke MK

BACA JUGA:8 Gugatan Pilkada di Sumsel Masuk MK: Empat Lawang dan Pagaralam Sumbang Dua Gugatan

Hal senada disampaikan Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI, Jazilul Fawaid, yang menyebutkan bahwa pilkada di provinsi besar seperti Jawa Barat bisa menghabiskan lebih dari Rp1 triliun. 

Menurutnya, anggaran sebesar itu dapat dialihkan untuk memperbaiki kondisi ekonomi di daerah-daerah yang membutuhkan.

Kritikan dari Aktivis Demokrasi

Namun, wacana ini tidak lepas dari kritik. Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menyebutkan bahwa mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD berpotensi mereduksi partisipasi rakyat dalam demokrasi.

“Pemilihan melalui DPRD bisa memutus mata rantai aspirasi publik dan menimbulkan kesewenang-wenangan elite politik. Ini dapat memunculkan pemimpin yang tidak merepresentasikan kehendak rakyat,” ujar Titi dalam wawancara, Minggu (1/12/2024).

BACA JUGA:Tingkatkan Patroli Pasca Pilkada Serentak 2024

BACA JUGA:Sah! Pilkada Jakarta 2024 Satu Putaran: Pramono Anung-Rano Karno Raih 50,06% Suara

Menurut Titi, meskipun sistem ini menawarkan efisiensi, potensi dominasi oligarki politik semakin besar karena keputusan pemilihan kepala daerah hanya akan berada di tangan segelintir elite. 

Ia juga menyoroti risiko politik uang yang berpindah dari masyarakat luas kepada anggota DPRD.

“Jika mekanisme ini diterapkan tanpa pembenahan penegakan hukum dan pengawasan, maka justru akan semakin memperkokoh oligarki dan memarginalkan rakyat,” tambahnya.

Tantangan Penegakan Hukum

Titi menekankan bahwa persoalan utama dalam pelaksanaan pilkada, baik langsung maupun tidak langsung, adalah lemahnya penegakan hukum. 

BACA JUGA:PDIP Pertimbangkan Paslon Baru di Pangkalpinang dan Bangka pada Pilkada Ulang 2025

BACA JUGA:Herman Deru-Cik Ujang (HDCU) Kuasai Pilkada Sumsel 2024 dengan Dominasi di 15 Kabupaten/Kota

Korupsi, politik uang, dan hegemoni elite menjadi tantangan yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum mengubah sistem pemilihan.

Kategori :