Dengan pengembalian aset yang optimal, denda damai dapat menjadi solusi pragmatis untuk menangani kasus-kasus besar yang sulit dituntaskan di pengadilan.
“Kalau aset negara bisa dikembalikan secara penuh, maka itu lebih baik daripada kasusnya berlarut-larut di pengadilan tanpa hasil konkret,” ujar Siti Aminah, seorang pakar hukum dari Universitas Indonesia.
Supratman juga menegaskan bahwa mekanisme ini tidak dimaksudkan untuk memberi keleluasaan kepada pelaku tindak pidana korupsi untuk lolos dari jeratan hukum.
BACA JUGA:Pilkada Muba 2024: Toha-Rohman Unggul 55%, Diuntungkan Isu Mantan Terpidana Korupsi
Pemerintah memastikan bahwa pemberian pengampunan atau denda damai akan dilakukan secara selektif, dengan mempertimbangkan tingkat kerugian negara dan niat pelaku untuk bekerja sama dalam pengembalian aset.
“Bukan berarti dalam rangka untuk membiarkan pelaku tindak pidana korupsi bisa terbebas. Sama sekali tidak. Pemerintah bersikap sangat selektif dan akan memberikan hukuman maksimal kepada mereka yang menyebabkan kerugian negara besar,” tegas Supratman.
Kini, bola panas berada di tangan pemerintah dan Kejaksaan Agung. Dengan menunggu arahan Presiden dan penyusunan peraturan teknis, mekanisme denda damai masih menjadi wacana yang belum terealisasi.
Publik berharap mekanisme ini dapat diterapkan dengan transparansi dan akuntabilitas untuk memastikan bahwa prinsip keadilan tetap terjaga.
“Kita harus berhati-hati dalam menerapkan mekanisme ini. Jangan sampai niat baik untuk memulihkan kerugian negara malah menjadi celah bagi koruptor untuk lolos dari tanggung jawab hukum,” tambah Supratman.