Ketakutan akan tindakan represif dari aparat atau pengawal pejabat menjadi momok yang menghantui ruang gerak kebebasan pers.
Pernyataan Sikap: Kecam Kekerasan dan Desak Pertanggungjawaban
Menyikapi peristiwa ini, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Semarang dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang mengeluarkan pernyataan resmi yang terdiri dari lima poin tegas:
Mengecam keras tindakan kekerasan oleh ajudan Kapolri terhadap jurnalis serta segala bentuk penghalangan terhadap tugas jurnalistik yang sah secara hukum.
Menuntut permintaan maaf terbuka dari pelaku kekerasan kepada korban dan seluruh komunitas pers atas tindakan yang mencoreng prinsip profesionalisme.
Menyerukan kepada Polri untuk memberikan sanksi tegas terhadap anggota yang melakukan kekerasan, agar tidak terjadi pembiaran dan impunitas.
Mendorong institusi Polri untuk introspeksi dan meningkatkan pemahaman tentang pentingnya kebebasan pers sebagai pilar demokrasi.
Mengajak seluruh media, organisasi jurnalis, dan masyarakat sipil untuk turut mengawal kasus ini dan memperjuangkan perlindungan kerja jurnalis di lapangan.
Ketua PFI Semarang, Dhana Kencana, menegaskan bahwa kekerasan terhadap satu jurnalis adalah serangan terhadap seluruh komunitas pers.
“Ini bukan sekadar soal profesi, ini soal kebebasan berekspresi dan hak publik atas informasi,” ujarnya.
Senada dengan itu, Ketua Divisi Advokasi AJI Semarang, Daffy Yusuf, menyatakan bahwa peristiwa ini menjadi sinyal buruk bagi demokrasi.
“Jika jurnalis dibungkam dengan kekerasan, maka yang rugi bukan hanya kami, tapi seluruh rakyat Indonesia,” katanya.
Kebebasan Pers adalah Nafas Demokrasi
Insiden ini kembali mengingatkan kita bahwa kebebasan pers bukanlah hadiah yang bisa diambil sewaktu-waktu.
Ia adalah hak yang dijamin konstitusi dan diperjuangkan melalui sejarah panjang demokratisasi di Indonesia.
Setiap serangan terhadap jurnalis adalah bentuk pelecehan terhadap hak publik untuk tahu, dan merupakan ancaman terhadap akuntabilitas kekuasaan.