Dengan basis mesin yang sama, Srikandi 200 mencoba naik kelas dari kendaraan umum ke kendaraan pribadi dengan tampilan lebih modern.
BACA JUGA:Toyota Land Cruiser V8 2025: Legenda Off-Road Kembali dengan Performa Lebih Ganas dan Fitur Mewah.
BACA JUGA:Birawa Military Jeep EV: Terobosan Kendaraan Militer Listrik Karya Anak Bangsa di PEVS 2025.
Salah satu hal menarik adalah bahwa meskipun kecil, Srikandi 200 tidak mengesampingkan kenyamanan dan ergonomi dasar.
Ia sudah menggunakan kemudi berbentuk bundar, layaknya mobil pada umumnya—bukan setang seperti motor atau bajaj.
Bahkan sudah dilengkapi dengan sistem persneling lengkap, termasuk gigi mundur (R), sesuatu yang tidak semua kendaraan kecil miliki kala itu.
Efisiensi Tinggi, Konsumsi Minim
Srikandi 200 diklaim mampu menempuh jarak hingga 25 kilometer hanya dengan satu liter bensin.
Di era saat ini, angka itu mungkin tidak terlalu mencengangkan, apalagi dengan kehadiran mobil listrik dan hybrid.
Tapi pada tahun 1970-an, efisiensi bahan bakar seperti ini adalah hal yang sangat mengesankan—terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia yang sedang berusaha menekan biaya logistik dan konsumsi energi.
Bila kita menengok ke belakang, pada masa itu isu krisis energi global sedang hangat.
Krisis minyak dunia tahun 1973 mengguncang banyak negara dan menyadarkan pemerintah-pemerintah bahwa ketergantungan pada bahan bakar fosil yang mahal dan terbatas bisa menjadi ancaman besar.
Dalam konteks itu, Srikandi 200 hadir sebagai solusi lokal yang murah, irit, dan bisa dibuat dengan teknologi sederhana.
Siapa Wijaya Buana?
Karoseri Wijaya Buana mungkin tidak sepopuler nama-nama besar seperti Astra atau PT Pindad, namun perannya dalam sejarah otomotif nasional patut dicatat.
Mereka adalah salah satu pelopor industri karoseri lokal yang mencoba mengambil peran lebih besar dalam rantai produksi kendaraan, tak hanya sebagai pembuat bodi, tapi juga sebagai penggagas produk orisinal.