Kedua, pentingnya dokumentasi dan dukungan kebijakan.
Tanpa adanya rekam jejak yang jelas dan kebijakan strategis jangka panjang, inovasi seperti Srikandi 200 akan dengan mudah hilang ditelan sejarah.
Jika saja pemerintah atau pihak swasta saat itu mendukung pengembangan mobil ini secara lebih serius, mungkin kita sudah memiliki industri otomotif mandiri jauh lebih awal.
Ketiga, Srikandi 200 mengingatkan kita bahwa mobil bukan hanya tentang kecepatan dan gaya, tapi juga fungsi sosial. Sebuah mobil kecil, murah, dan hemat bahan bakar bisa menjadi solusi transportasi masyarakat luas, terutama di daerah urban padat atau pedesaan yang infrastrukturnya belum optimal.
Membayangkan Kelahirannya Kembali
Bayangkan jika konsep Srikandi 200 dibangkitkan kembali hari ini—dengan sentuhan teknologi modern seperti mesin listrik, rangka ringan berbahan komposit, dan fitur digital sederhana.
Mobil mini buatan Indonesia bisa menjadi alternatif menarik untuk mobilitas dalam kota, bahkan bersaing di pasar global yang mulai bosan dengan mobil besar dan mahal.
Apalagi kini dunia sedang menuju tren kendaraan kompak dan ramah lingkungan.
Banyak negara bahkan mulai beralih ke urban mobility solutions, kendaraan kecil yang tidak memakan tempat dan bisa diproduksi massal dengan biaya terjangkau.
Mengapa tidak belajar dari masa lalu dan membangkitkan kembali semangat Srikandi?
Inilah Srikandi 200: kecil di ukuran, besar dalam cita-cita.
Sebuah bukti bahwa mimpi besar bisa datang dari tempat yang sederhana.
Ia mungkin tidak dikenal banyak orang hari ini, tapi kisahnya layak dikenang—sebagai salah satu tapak awal industri otomotif dalam negeri yang berani berdiri di atas kaki sendiri.* (Koer)